Kamu ingat saat masa perkenalan siswa atau mahasiswa disuruh makan cepat-cepat? Makan gak nyantai itu gak enak.
Kamu ingat pas disuruh jalan cepat-cepat saat pramuka? Jalan gak nyantai itu gak enak.
Kamu ingat pas diminta ngerjain soal yang susah banget tapi disuruh cepat-cepat sama guru di sekolah?
Jangankan soal sulit, soal mudah saja masih salah kalo dikerjain cepat-cepat. Ngerjain sesuatu cepat-cepat itu gak enak.
Semua yang serba cepat-cepat itu gak enak, gak nyaman, bikin tertekan dan panik. Kalo panik menimbulkan kebingungan. Kalo bingung gak bisa mikir, kalo gak bisa mikir jadi stres.
Katanya mau hidup bahagia, tapi kok gak bisa hidup selo? Tidak terburu-buru pengen kaya, tidak terburu-buru pengen sukses, tidak terburu-buru pengen berhasil, tidak terburu-buru pengen ini itu. Meskipun saya menulis begini, nyatanya saya sendiri tidak seperti itu. Dalam hati kecil, saya juga pengen ini itu segera, secepat mungkin, padahal masih mudah tapi begitu terburu-buru.
Di zaman semuanya serba mudah menengok hidup orang, kita tergiur ingin berada di jalan yang sama dengan orang itu. Ketika melihat miliarder muda sukses, tanpa sadar kita take all chances, take many tasks in one night, take many jobs in a day. Memforsir tubuh dan pikiran tanpa istirahat karena tanpa sadar konsumsi sosial media terlalu memberi banyak paparan penyakit yang mengajak adu mental sekuat baja.
Paparan kesuksesan orang-orang dalam usia muda, paparan orang-orang yang bahagia di usia muda, paparan keluarga yang bahagia, paparan kehidupan sempurna orang-orang meracuni. Saya seumuran dengan Jerome pollin, kenapa saya masih begini-begini saja disaat dia sudah sukses seperti ini? Sedangkan saya sendiri tidak mengenal dia dan dia juga tidak tahu saya hidup di dunia ini. Ini adalah efek paparan penyakit sosial media.
Akibatnya banyak orang yang susah hidup selo, susah menjalani proses (bukan menikmati ya, karena saya rasa menikmati proses terlalu naif), sudah dituntut survive oleh kedewasaan, masih dituntut lagi dengan maraton mengejar orang-orang dengan start yang berbeda. Bagaimana bisa kita hidup selo?
Bagaimana dengan seabrek tuntutan yang masih ada di kepala?