Siapa pun ingin berhasil dalam segala hal, termasuk keberhasilan dalam menempuh dalam dunia pendidikan. Keberhasilan itu pantas untuk dirayakan, termasuk keberhasil dalam kelulusan dari sekolah. Jadi sah-sah saja siswa merayakan kelulusan.
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa pada tanggal 3 Mei 2018, kelulusan SMA/SMK telah diumumkan. Setelah pengumuman, seperti biasa, siswa SMA/SMK merayakan dalam berbagai bentuk. Ada yang konvoi, ada yang corat-coret baju, sujud syukur, berbagai bingkisan, dan lain sebagainya.
Dari perayaan kelulusan itu ada yang postif, ada pula yang negatif sampai membahayakan nyawa, misalnya konvoi sepeda motor. Apakah salah siswa melakukan corat-coret dan konvoi sepeda motor? Apakah mereka melanggar hukum? Apakah salah mereka merayakan kelulusan? Mari kita analogikan dengan aktivitas anak dalam rumah tungga. Misal anak kita sedang naik pohon. Kemudian ditegur oleh orang tua agar jangan naik pohon lagi. Apakah tindakan anak itu salah? Apakah dia melanggar hukum? Tentu jawabnya tidak. Namun ketika tindakan anak membahayakan maka akan timbul kekhawatiran, misal bisa saja terjadi kecelakaan.
Sekarang kita kembali ke konvoi perayaan kelulusan. Konvoi itu tidak salah dan tidak melanggar hukum, seperti halnya anak naik pohon. Konvoi itu salah bila siwa tidak mempunyai SIM atau tidak memakai helm. Jelas itu melanggar tata tertib lalu lintas. Anggap mereka sudah punya SIM dan semua memakai helm, apakah tindakan mereka dapat dibenarkan? Secara hukum mereka tidak dapat disalahkan, namun tindakan mereka membahayakan, hingga menimbulkan kekhawatiran. Di sinilah perlu peran orang dewasa untuk mengarahkan. Perlu kerja sama semua pihak untuk mengendalikan atau melarang aktvitas tersebut.
Sudah banyak yang dilakukan oleh sekolah agar siswa tidak lagi melakukan konvoi merayakan kelulusan, misal pengumuman dilakukan secara online atau pengumuman langsung diserahkan ke rumah siswa. Namun cara ini tidak bisa menjamin siswa tidak melakukan konvoi. Bisa saja siswa janjian, tidaklah sulit janjian dengan canggihnya teknologi komunikasi saat ini.
Cara lain yang ditempuh adalah diadakannya acara wisuda bertepatan dengan hari tanggal kelulusan yang dihadiri oleh orang tua. Wisuda yang dilaksanakan di pagi hari mungkin bisa menekan aksi konvoi ini. Apalagi bila dihadiri oleh orang tua, ketika pulang wisuda, siswa tetap dalam pengawasan orang tua. Walau cara ini belum tentu menghilangkan sama sekali konvoi, namun paling tidak bisa mengurangi secara signifikan.
Cara lain yang bisa dicoba adalah pemberian ajang atau wadah anak untuk berkreasi di area tertentu yang terkendali, misal di sekolah atau di mana saja yang penting masih dalam pengawasan. Bahkan saya mentolerir siwa melakukan aksi corat-coret baju di tempat tertentu yang terkendali, asalkan dilakukan tidak sambil konvoi, karena aksi corat-coret itu tidak membahayakan.
Kita tidak bisa melarang sama sekali ekpresi siswa merayakan kelulusan, yang penting tidak mebahayakan dan melanggar norma (termasuk norma agama dan norma hukum). Saya pikir aksi corat-coret tidak melanggar tidak melanggar norma apa pun. Namun lebih bagus lagi bila siswa diberi wadah untuk aksi panggung dengan pentas seni misalnya.
Bila kita perhatikan tiap tahun, ada saja konvoi kelulusan ini. Apa tindakan kita seandainya konvoi itu benar-benar tidak bisa dihentikan? Saya mempunyai usulan. Perlakukan siswa konvoi seperti perlakuan terhadap domonstran. Artinya biarkan siswa melakukan konvoi namun dengan adanya syarat tertentu, misalnya:
1. Memberitahukan ke pihak keamanan sebelum konvoi untuk dilakukan pengamanan (seperti pengamanan aksi demo)
2. Siswa harus mempunyai SIM
3. Siswa harus memakai helm.
Saya pikir bila itu dilakukan maka akan terjadi konvoi yang simpatik yang sekaligus mengedukasi berkendara yang aman. La woong moge (motor gede) saja boleh konvoi, masa siswa konvoi merayakan kelulusan tidak boleh.