Sudah kita maklumi bersama bahwa setiap tahun konsep ujian akhir sekolah selalu berubah. Perubahan itu tentu dilandasi dengan dasar hukum, yaitu permendikbud. Tahun ini konsep ujian akhir sekolah dilandasi oleh permendikbud nomor 4 tahun 2018, sebagai pengganti permendikbud nomor 3 tahun 2017.
Bila kita runut ke belakang, kita pasti ingat hebohnya UN sebagai penentu kelulusan. Pada waktu pertama kali diterapkan banyak sekali siswa yang tidak lulus dari satuan pendidikan. Setelah itu ada "kompromi", yaitu munculnya terminologi nilai akhir, yang merupakan gabungan nilai UN dan nilai Ujian Sekolah. Nilai akhir inilah (salah satu) penentu kelulusan dari satuan pendidikan.
Di era Mendikbud Anies Baswedan, konsep ujian akhir sekolah berubah lagi. UN tidak lagi sebagai kriteria kelulusan. Di era Mendikbud Muhajir, tahun 2017 UN hendak dimoratorium, namun ide itu tidak disetujui oleh presiden, hingga UN tetap diselenggarakan. UN gagal moratorium, muncul ide USBN, yaitu Ujian Sekolah Berstandar Nasional untuk beberapa mata pelajaran terntentu. Pada tahu 2018 ini USBN berlaku untuk semua mata pelajaran, termasuk SD juga diberlakukan USBN yang tahun lalu USBN tidak untuk SD.
Apa Beda US "biasa" dengan US "Berstandar Nasional"?
US Berstandar Nasional (USBN) diselenggarakan bertujuan untuk meningkatkan kualitas soal, dengan cara:
- BSNP menentukan kisi-kisi;
- Pusat meberikan soal 20% - 25% yang disebut soal anchor;
- MGMP/KKG membuat indikator soal (untuk melengkapi soal anchor) sebanyak 75% - 80% dan medistribusikan ke satuan pendidikan;
- Satuan pendidikan membuat soal (melalui guru) berdasarkan indikator yang telah dibuat MGMP/KKG;
- MGMP menelaah secara kualitatif soal yang telah dibuat oleh satuan pendidikan dan mengembalikan hasil telaah;
- Satuan pendidikan merakit soal yang sudah dinyatkan valid kualitasnya dengan menggabung soal anchor dan soal yang telah divalidasi oleh MGMP/KKG.
Yang perlu dipahami bahwa semua satuan pendidikan membuat soal yang tentu berbeda-beda soalnya antara sekolah satu dengan sekolah lainnya, walau indikator soalnya sama. Dengan demikan tidaklah benar bila soal itu seragama atau sengaja diseragamkan sekab/kota atau seprovinsi, kecuali bila terjadi kondisi tertentu seperti yang diatur di dalam POS USBN.
Yang juga perlu dipahami bahwa UBN itu pada dasarnya adalah Ujian Sekolah, yang tentu segala kewenangan dan atribut dikembalikan kepada sekolah atau satuan pendidikan, artinya soal berbeda-beda masing-masing sekolah dan naskah soal kopnya adalah kop sekolah, bukan kop dinas pendidikan.
Dengan demikian pemahaman USBN adalah ujian bersama (dengan soal sama) tingkat kab/kota atau prov itu kurang (bila tidak boleh disebut tidak) memenuhi POS USBN. Kelasalahpahaman ini memang tidak bisa serta merta ditujukan kepada guru, satuan pendidikan atau dinas pendidikan.
BSNP juga punya andil dalam kesalahpahaman ini, misalnya permendikbud nomor 4 tahum 2018 sebagai landasan hukum terbitnya telat, yaitu tanggal 6 Januari 2018, kemudian POS USBN terbit tanggal 7 Januari 2018, kelihatan sekali bila BSNP kejar tayang. Di samping itu koordinasi dan sosialisasi dirasa sangat kurang.
Ujian akhir sekolah ini adalah agenda tahunan, pemerintah tidak pernah bisa mengambil pelajaran, yaitu regulasi selalu saja ditetapkan di akhir tahun pelajaran, mengapa tidak di awal pelajaran, agar persiapan, sosialisasi dan koordinasi berjalan dengan baik. Bukankah yang namanya perencanaan itu ditetatpkan di awal bukan di akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H