Dalam era di mana teknologi terus berkembang dengan cepat, kita sering kali mendapati diri kita berada di persimpangan antara inovasi dan etika. Manusia kini hidup berdampingan dan sejalan dengan perkembangan tersebut. Kecerdasan buatan atau yang sering disebut dengan AI (Artificial Intelligence) merupakan salah satu contoh dari perkembangan teknologi yang ada. Namun, AI terus merambah hingga menguasai bidang ilustrasi digital. Hal ini banyak menimbulkan perdebatan karena karya digital yang dibuat oleh AI mengambil data atau aset gambar dari para ilustrator tanpa disertai izin. Sehingga perlu adanya garis yang membatasi penggunaan AI supaya tidak melewati persimpangan antara inovasi dan juga etika.
Konsep dari AI merujuk pada kemampuan komputer dalam meniru perilaku manusia yang cerdas. Namun, AI ini ibarat memiliki dua sisi mata pisau. AI bisa saja digunakan dalam konteks yang baik dalam dunia ilustrasi digital. Seperti untuk menggunakan beberapa tools sebagai penunjang illustrator dalam membuat karya agar lebih maksimal. Di sisi lain, AI dikhawatirkan dapat merusak industri kreatif dan mengambil alih pekerjaan ilustrator sebagai authority. Selain itu, dikhawatirkan AI disalahgunakan sebagai alat komersial sehingga menimbulkan kasus plagiarisme, mengingat hasil yang didapatkan sangat cepat dan instan.
Cara kerja AI dalam membuat ilustrasi digital adalah dengan cara mengumpulkan jutaan informasi di internet dan kemudian menghasilkan suatu ilustrasi dari gabungan karya-karya orang lain. Berbeda dengan para ilustrator yang harus memikirkan bagaimana cara mereka dapat menciptakan karya-karya yang indah dan memiliki nilai seni yang tinggi. Selain itu, ilustrator biasanya memerlukan waktu yang lama untuk membuat konsep dari karya yang akan dibuat. Sehingga banyak sekali karya-karya serupa tapi tak sama. Apalagi AI memiliki kebebasan akses yang luas sehingga orang yang tidak paham tentang seni dapat membuatnya dengan mudah. Hal ini menurunkan nilai dan fungsi dari suatu karya seni.
Dalam situasi di mana seseorang menggunakan teknologi AI untuk melakukan plagiarisme, dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan tidak terpuji. Dalam mengkomersialkan sebuah karya, para ilustrator harus mencantumkan lisensi atau membayar aset yang digunakan dalam karyanya. Hal tersebut dilakukan agar karya yang mereka buat terhindar dari tudingan plagiarisme. Jadi, banyak sekali ilustrator di media sosial yang terang-terangan mengecam AI yang digunakan dalam suatu gambar atau karya.
Untuk mengatasi penggunaan AI dalam menciptakan suatu karya ilustrasi digital, perlu adanya pendekatan agar orang-orang semakin sadar bahwa penggunaan AI dalam membuat suatu karya seni itu tidak etis untuk dilakukan. Kemudian para ilustrator dituntut untuk menjadi semakin kreatif dalam menghadapi fenomena tersebut. Ilustrator juga bisa berkolaborasi dengan AI dengan cara mempelajari tools untuk mempermudah pembuatan karya senin. Namun, tidak menjadikannya ketergantungan dengan tools yang ada. Dan seharusnya pihak AI juga harus bisa membatasi sejauh mana data yang mereka ambil untuk menciptakan suatu ilustrasi, sehingga tidak ada lagi plagiarisme yang merugikan para ilustrator di industri kretaif. Dengan itu, AI tidak akan bisa melewati batas etis dalam membuat suatu ilustrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H