Lihat ke Halaman Asli

Upin Ipin, dan Nilai Luhur Pendidikan

Diperbarui: 28 November 2016   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://andreasevandop.blogspot.co.id/

“Bangun!” teriak Ihsan, “Selamat pagi, Cik gu!” Kemudian, Bu Guru membalas salam murid-muridnya. Begitulah, ritual sebelum pengajaran di kelas Upin dan Ipin dimulai. Sebuah salam; pernyataan hormat sekaligus doa keselamatan.

Bertahun-tahun dulu, aku juga sempat mengalami hal serupa itu. Waktu SD, setiap kali Wali Kelas masuk, Ronni, ketua kelas akan memimpin kami menyanyikan Duduk Yang Manis. Barangkali kompasiner masih ingat liriknya: Tangan ke atas, tangan ke samping, tangan ke depan, duduk dengan rapi. Selanjutnya adalah salam untuk Ibu atau Bapak Guru.

Mengapa salam menjadi ritual pembuka pengajaran, aku cenderung mengaitkannya dengan makna utama dari seorang  guru. Menurutku, sekarang ini sedang terjadi penyempitan makna seorang guru. Kalau kita buka KBBI, guru didefinisikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam pemahaman yang lebih tinggi, guru adalah orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan agar murid-muridnya memiliki kompetensi tertentu. Pemahaman ini tentu tidak bisa dilepaskan dari tekanan zaman; globalisasi telah memaksa pendidikan kita berbasis prestasi  kuantitatif, bukannya keluhuran budi.

Dulu, sebelum guru ditelikung menjadi sekadar profesi, seorang guru amat dihormati oleh masyarakat. Kepercayaan orang-orang India, Cina, Mesir dan Israel menempatkan guru pada posisi seorang imam atau nabi. Murid-murid sang guru diseleksi serius. Guru diposisikan setara dengan orang tua. Tak heran, dalam film-film kungfu Tiongkok kita kerap menyaksikan betapa hancurnya hati seorang murid yang diusir oleh gurunya.

Selanjutnya, falsafah India menegaskan guru sebagai simbol kesucian dan sekaligus penyebar kesucian. Falsafah Budha menisbatkankan guru sebagai kalangan yang memandu muridnya menuju jalan kebenaran. Falsafah Jawa mengartikan guru sebagai sosok teladan yang harud digugu dan ditiru. Mitos Batara Guru misalnya, muncul dalam mitologi Batak, Jawa dan Bugis. Intinya, guru adalah pembimbing guna mereguk keselamatan; baik duniawi maupun surgawi. Salam keselamatan adalah simbolnya; pengingat akan akal budi (horisontal) dan penghambaan (vertikal).

Segenap lenyap ketika pendidikan ditelikung menjadi komoditi. Prestasi pendidikan diindentikan dengan keberhasilan kuantitatif: nilai pelajaran, lulus UN, menang lomba. Tetapi karakter menuju keselamatan hidup ditepikan.

Akibatnya, output pendidikan menjadi manusia terampil tetapi berkarakter mengecewakan. Gampangnya, kita bisa berkacam pada keriuhan caci-maki, hujat dan fitnah di media sosial. Kita bisa belajar dari kasus penghinaan terhadap Gus Mus, KH Ma'ruf Amin Buya dan Syafii Maarif yang terjadi belakangan ini. Ketiga guru bangsa ini dihina bukan hanya oleh masyarakat awam, tetapi juga orang kalangan kelas menengah. Hal ini sebagai menegasikan betapa sistem pendidikan kita sudah selayaknya kita kaji kembali.

Sebagai penutup, ada baiknya aku kutip pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan. Menurut bapak pendidikan Indonesia ini, pendidikan adalah proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.

Dan menurutku, faktanya sistem pendidikan kita masih jauh dari harapan itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline