Toleransi di Era Majapahit:
1. Sebuah Warisan Budaya
Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di Nusantara yang berdiri pada abad ke-13 hingga ke-16. Dikenal karena kekuatan politik dan militer, Majapahit juga terkenal sebagai pusat kebudayaan dan perdagangan. Salah satu aspek yang paling menarik dari kerajaan ini adalah toleransi beragama yang berkembang di dalam masyarakatnya. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana toleransi beragama terwujud di era Majapahit dan dampaknya terhadap masyarakat saat itu serta warisannya hingga kini.
2. Keberagaman Agama di Majapahit
Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350--1389) dan Mahapatih Gajah Mada. Masyarakat Majapahit terdiri dari berbagai etnis dan agama, termasuk Hindu, Buddha, dan Islam. Meskipun mayoritas penduduk menganut Hindu dan Buddha, kepercayaan lokal serta tradisi animisme juga tetap dipraktikkan.
3. Kitab Sutasoma dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Kitab Sutasoma karya Empu Tantular merupakan salah satu karya sastra penting yang mencerminkan semangat toleransi di Majapahit. Dalam kitab ini terdapat semboyan "Bhinneka Tunggal Ika," yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu." Semboyan ini menjadi simbol persatuan dalam keberagaman dan menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan agama dan budaya, masyarakat Majapahit mampu hidup berdampingan secara harmonis.
5. Praktik Toleransi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Toleransi beragama di Majapahit tidak hanya sebatas teori, tetapi juga tercermin dalam praktik sehari-hari. Para pemimpin kerajaan seperti Raja Hayam Wuruk dan Gajah Mada menunjukkan sikap inklusif terhadap berbagai agama. Mereka tidak hanya menghormati ajaran Hindu dan Buddha tetapi juga memberikan ruang bagi pemeluk agama lain untuk menjalankan keyakinan mereka.
Misalnya, para rakyat Majapahit bebas memilih agama mana pun yang mereka inginkan. Bahkan, pernikahan antaragama juga terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Selain itu, pasar-pasar yang ramai di kota-kota besar seperti Trowulan menjadi tempat bertemunya berbagai budaya dan agama, menciptakan interaksi sosial yang positif.
6. Hubungan Harmonis Antara Hindu-Buddha dan Islam