Lihat ke Halaman Asli

Firda Fatimah

TERVERIFIKASI

Belajar

Menyusur Jalan Sunyi Bersama KPB dan KP

Diperbarui: 21 Desember 2020   02:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkapan layar ikon grup Menulis Bersama KPB dan KP

"... Menulis itu jalan sunyi, Kawan. Tidak semua orang mau melewati jalan sunyi itu. Kalaupun mau, belum tentu mampu."

Sepotong dari prakata yang dituturkan oleh Daeng Khrisna Pabichara ketika memulai pertemuan keempat di Kelas Menulis Bersama KPB dan KP ini benar-benar mengena di hati saya. Kata-kata tersebut benar-benar yang sedang saya rasakan sekarang. Menulis, sebuah jalan sunyi yang belakangan membuat otak saya selalu berputar dan sedikit menggebu. Ya, saya sering berpikir bahwa saya ingin menulis, namun ternyata kata "mampu" itu belum bisa saya peluk.

Ketika Daeng Khrisna menyilakan satu persatu dari anggota kelas untuk menyampaikan sesuatu dari prakata yang membuat hati dan batin tergerak, lantas saya mengatakan bahwa saya takut berada pada bagian "mau tapi tidak mampu".

Seringkali ketika muncul ide untuk modal awal saya menulis, tiba-tiba saya gagal mengeksekusinya karena berbagai alasan. Kurang bisa fokus, itu masalah utama saya. Saya mudah terkecoh oleh sesuatu. Jadi, untuk menulis satu artikel saja, saya bisa membutuhkan waktu beberapa jam.  

Tak hanya itu, kemampuan saya menyusun diksi memang belum terlalu lihai. Itu juga yang menjadikan saya selalu saja merasa bahwa "aku belum bisa menemukan feel dalam menulis". Padahal jika saya tanyakan pada diri dan hati saya yang terdalam, maka saya akan menemukan jawaban bahwa menulis agaknya sudah menjadi panggilan hati saya. Tapi entah, saya belum benar-benar bisa menemukan diri saya di sini.

"Agar mampu, kita mesti melewati tangga mampu. Ingat, di dalam kata mampu ada kata mau. Tabik."

Begitu jawaban Daeng Khrisna menanggapi pernyataan saya tadi. Di dalam kata mampu ada kata mau. Siapapun nanti akan mampu jika mau untuk bergerak. Begitu kiranya maksud dari jawaban Daeng yang bisa saya tangkap. Jika kemauan itu ada dan selalu dipupuk, maka mampu tak akan sungkan-sungkan bertumbuh. Baiklah, saya akan terus merawat kemauan saya ini. Semoga saja tidak layu atau bahkan mati di tengah jalan.

Rukun iman penulis, artikel lama Daeng Khrisna sebagai pemanas sebelum memulai kelas menulis sore hari telah saya baca dengan seksama. Walaupun mungkin belum semuanya membekas di ingatan saya, artikel tersebut agaknya menyentak saya bahwa menjadi penulis memang bukanlah sembarang orang. Penulis adalah orang-orang pilihan, saya meyakini itu sekali.

Begitulah, saya memang bukan penulis, saya hanya menulis itupun kadang-kadang. Namun, rukun iman penulis yang terdiri dari mental, teknik, intelek, rakus, gaul, dan tabah cukup membuat saya untuk harus menfasilitasi kemauan saya. Sebuah kemauan itu mahal, sayang sekali jika harus saya abaikan begitu saja.

"Bacalah. Bahkan dalam jeda yang tidak seberapa lama, sempatkanlah membaca sesuatu. ... selain mengayakan wawasan, bacaan juga dapat merangsang munculnya ide." Ucap Daeng Khrisna yang meyakinkan bahwa membaca adalah pemantik ide.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline