Beberapa hari yang lalu aku dihubungi seseorang, dan dia menanyakan padaku perihal "kata hati".
Oh ya sebelumnya aku ingin katakan bahwa dia adalah seorang remaja seumuran mahasiswa baru program sarjana. Dia baru saja mengalamai sakit hati karena dikhianati kekasihnya, namun ternyata pada akhirnya mereka berdua kembali lagi melanjutkan kisahnya. Yaa entahlah, aku tak tau banyak tentang itu...
Setelah dia memberiku pertanyaan perihal "kata hati", aku mulai sedikit berfikir dan tak beberapa lama aku mulai menjawabnya dengan satu pertanyaan saja, "kata hatinya bagaimana?"
Dengan cepat dia menjawab, "kata hatiku mengatakan aku harus mempertahankannya, meski aku harus tersakiti berkali-kali", begitu dia meyakinkan jawabannya dan menungguku merespon pertanyaannya lebih dalam.
Aku pun mulai mencoba menjawab melalui sudut pandang dan pengalamanku sendiri.
"Kata hati tak selalu benar, walaupun hati memang lebih mudah menerima kebenaran. Dibanding akal, hati bisa bersikap sangat lembut bahkan tanpa logika sekalipun. Begitulah Allah ciptakan hati. Dan kita tahu bahwa hati kita gak selalu bersih, adakalanya setiap hari harus selalu kita bersihkan, bukankah begitu? Keputusan yang diambil dari hati itu baik, namun terkadang ada juga yang tak baik. Nah sekarang sekarang coba dilihat apakah hati kita sudah bersih apa belum? kamu bisa simpulkan sendiri sekarang."
Diapun mengiyakan jawabanku..
Lalu seperti tak ada percakapan lagii, aku mulai menutupnya...
"Kita memang tak bisa berkuasa atas hati atau perasaan seseorang, bahkan terhadap hati kita sendiri sekalipun. Maka dari itu Allah tuntun kita dengan doa Yaa Muqollibal qulub, tsabbit qolbi ala dinik. Allah yang genggam hati kita, maka menjadi hamba yang mau dituntun sama Allah itu indah sebenarnya."
percakapan kami pun berakhir dengan jawaban "iya benar" dari dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H