Lihat ke Halaman Asli

FATIMAH

Guru Kelas 6

Budaya Positif? Seberapa Penting?

Diperbarui: 17 Juni 2024   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernah merasakan tinggal di suatu tempat yang penuh dengan drama seperti keributan antar tetangga hampir setiap hari? Bagaimana rasanya? Tentu rasanya ingin segera pindah dari lingkungan tersebut bukan? Ingin rasanya tidak menginjakkan kaki kembali di tempat itu. Takut... Cemas... hingga trauma mungkin akan terjadi jika kita harus hidup berlama-lama di tempat seperti itu. Karena bukan tidak mungkin keributan nantinya akan menyasar pada diri kita bukan?

Nah... bagaimana jika tempat tersebut adalah lingkungan sekolah tempat kita mengajar atau tempat anak-anak kita bersekolah? Tempat yang membuat peserta didiknya selalu takut untuk hadir ke sekolah, tempat yang membuat peserta didik rasanya enggan untuk jangankan belajar, mampir sebentarpun rasanya berat. Semestinya sekolah adalah tempat yang membuat peserta didik rindu untuk mendatanginya karena disana banyak guru, dan teman-teman untuk bermain. Semestinya sekolah adalah tempat pertama yang harus dirindukan oleh peserta didik selain rumahnya. Bagaimana mau menimba ilmu jika sekolahnya menyeramkan? Buat duduk 5 menit saja takut, apalagi untuk sekian jam. 

Hmmm... hal seperti inilah yang menjadi dasar mengapa Budaya Positif harus dibiasakan di lingkungan kita berada diterapkan, termasuk lingkungan sekolah. Agar ketakutan-ketakutan itu berubah menjadi rasa rinduu yang demikian beratnya. Tahukan rasanya jika rindu sudah menhampiri perasaan kita? Yaaa... saya pun paham pasti kita akan melakukan apapun demi rindu itu dapat diwujudkan.

Budaya Positif? Apa sih sebenarnya makna dari budaya positif tersebut? Bagaimana cara menerapkannya? Kita berangkat dari makna budaya sebenarnya, Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang. Kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya. Yang berarti budaya positif adalah suatu cara hidup positif yang berkembang dan dimiliki di suatu Lingkungan oleh sekelompok orang di lingkungan tersebut. Contohnya, di SDN Menteng Atas 11 ada suatu kebiasaan positif ketika peserta didik bertemu dengan gurunya, meski itu bukan guru kelasnya, maka peserta didik tersebut akan segera mengulurkan tangannya dan melakukan "salim" dan sapa "selamat pagi ibu/bapak ". Selain itu di sekolah tersebut juga ada kebiasaan guru-gurunya selalu memberikan senyum ketika bertemu dengan peserta didik ataupun guru lainnya, sehingga ada perasaan nyaman dan hangat., kebiasaan setiap hari jum'at untuk yang muslim baik guru dan peserta didik melaksanakan shalat duha bersama dibarengi dengan kegiatan Murajaah. Dan masih banyak kebiasaan-kebiasaan baik yang terjadi di sekolah ini. Dan kebiasaan-kebiasaan inilah yang dinamakan disiplin positif. Sesuatu yang biasanya dilakukan oleh sekelompok orang dan hal tersebut membuat rasa damai, nyaman, dan tenteram terwujud. 

Apakah budaya positif tersebut bisa terwujud begitu saja? Tentu tidak, ketika budaya positif hendak diwujudkan, maka ada banyak hal yang harus dilakukan. Termasuk perubahan paradigma pembelajaran, dimana pembelajaran haruslah melihat kodrat peserta didik, yaitu kodrat alam dan kodrat zamannya. Guru dituntut harus mulai selalu mengedepankan kebutuhan peserta didik. Cara belajar dan mengajarpun haruslah disesuaikan dengan kedua kodrat tersebut, dan hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi. Diferensiasi konten, atau diferensiasi proses serta diferensiasi produk haruslah mulai diterapkan oleh guru, demi tercapainya Tujuan Pendidikan yaitu Menuntun peserta didik agar bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai manusia.

Disiplin positifpun menjadi hal yang harus dilakukan dalam mewujudkan budaya positif dan paradigma belajar ini, dimana disiplin positif memiliki arti suatu pendekatan pengajaran yang fokusnya adalah membangun hubungan positif antara guru dengan peserta didiknya, dengan menetapkan batasan-batasan yang jelas, dan mengajarkan keterampilan hidup yang penting. Rasa hormat, ketegasan dan dukungan penuh merupakan syarat dan prinsip-prinsip di dalam menegakkan disiplin positif ini. 

Dan untuk menerapkan disiplin positif, tentunya kita sebagai guru harus memahami terlebih dahulu motivasi perilaku manusia termasuk peserta didik dalam melakukan sesuatu. Menurut Diana Gossen (Restructuring School Discipline, 2001), ada 3 motivasi perilaku manusia, yaitu :

  • untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Ini adalah tingkatan terendah dari motivasi perilaku manusia, motivasi ini adalah motivasi eksternal.
  • untuk mendapatkan imbalan/penghargaan dari orang lain. Motivasi ini sedikit lebih baik dibanding motivasi pertama di atas, tetapi bukanlah motivasi terbaik yang diharapkan dari manusia, karena motivasi ini pun masih eksternal.
  • Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai mereka. Motivasi inilah yang diharapkan ada pada diri manusia termasuk kita sebagai guru maupun peserta didik, karena motivasi ini adalah motivasi intrinsik/ internal.

Semua tindakan manusia di dalam melakukan sesuatu itu hanya karena rasa ingin memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan menurut William Glasser kebutuhan dasar manusia ada 5 yaitu:

1. bertahan hidup (survival),

2.  kasih sayang dan diterima (love and belonging), 

3.Kekuasaan (power), 

4.kesenangan  (fun), dan 

5. kebebasan (freedom)

Tentunya dengan mengetahui dan memahami tentang kebutuhan dasar manusia ini,  bisa membantu guru untuk mengidentifikasi apa yang menjadi dasar kebutuhan peserta didiknya sehingga tahu bagaimana atau hal seperti apa yang harus dilakukan demi terpenuhinya kebutuhan dasar peserta didiknya tersebut.

Selain guru harus  mengetahui motivasi dan kebutuhan dasar apa yang dibutuhkan oleh peserta didik, Posisi Kontrol Guru di dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik sangat berpengaruh di dalam menciptakan budaya positif serta disiplin positif ini. Dan menurut Diana Gossen, ada 5 posisi kontrol guru, yaitu :

1. Penghukum. Posisi ini sebaiknya dihindari oleh guru. Penghukum identik dengan tatapan mata yang tajam, dan intonasi bicara yang tinggi. Tentu peserta didik tidak akan nyaman ketika bertemu dengan posisi guru penghukum ini. Pada posisi ini biasanya guru akan memberikan hukuman dengan tujuan agar ada efek jera untuk melakukan pelanggaran pada peserta didiknya. Dampaknya peserta didik akan tersakiti dan mungkin akan menaruh dendam pada gurunya jika hukuman dirasakan sangat menyakiti baik secara fisik maupun psikis.

2. Pembuat orang merasa bersalah. Posisi ini juga sebenarnya kurang baik untuk dilakukan, karena akan berdampak membuat rasa bersalah berlebihan pada peserta didik, sehingga peserta didik akan merasa gagal dalam hidupnya. Ciri-ciri pembuat merasa bersalah ini adalah menggunakan kalimat yang mendalam dan intonasi lembut, serta menatap dalam ke mata si peserta didik.

3. Menjadi teman. Sekilas sepertinya ini adalah posisi bagus ya, tetapi ternyata menjadi teman untuk guru kepada peserta didiknya juga bisa memberikan dampak yang kurang baik. Karena ketika guru tidak dapat membantu peserta didiknya karena satu dan lain hal, maka si peserta didik akan merasa kecewa. 

4. Menjadi Monitor/Pemantau. Pada posisi ini guru selalu menggunakan peraturan sebagai alat untuk membuat peserta didik tunduk. 

5. Manager. Posisi ini adalah posisi terbaik yang bisa dilakukan oleh guru. Pada posisi ini guru mendampingi peserta didik untuk menyelesaikan masalahnya dan bersama-sama mencari solusi untuk pelanggaran yang dilakukan.

Dan selaku manajer, guru diharapkan dapat mengajak peserta didik untuk menetapkan keyakinan kelas dan bukan membuat peraturan sendiri. Keyakinan kelas ini adalah nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Dengan keyakinan seseorang akan lebih termotivasi secara intrinsik, sehingga akan lebih tergerak dan bersemangat di dalam menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekesar mengikuti peraturan-peraturan.

Dampak positif jika keyakinan kelas dibuat bersama peserta didik adalah :

1. Dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

2. Akan menciptakan lingkungan belajar yang positif.

3. Tentunya bisa meningkatkan disiplin diri peserta didik.

4. Meningkatkan kerjasama dan gotong royong pada peserta didik.

Selain merumuskan keyakinan kelas, guru selaku manager juga sebaiknya menerapkan segitiga restitusi di dalam menyelesaikan permasalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didiknya. Apa itu segitiga restitusi? Segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi peserta didik untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Ada 3 tahapan yang dilakukan pada restitusi ini, yaitu :

1. Menstabilkan Identitas,  bertujuan untuk mencari tahu kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Guru bisa menggali kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi pada peserta didik tersebut dengan memberikan suatu penguatan bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Dan pada tahapan ini guru konteksnya adalah guru tidak menghakimi peserta didik atas kesalahan/pelanggaran yang diperbuatnya.

2. Validasi Tindakan Yang salah, yaitu Memahami kebutuhan dasar yang melatar belakangi anak berbuat kesalahan. Pada tahapan ini sebaiknya guru lebih menggali hal-hal lain yang lebih baik dilakukan oleh peserta didik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

3. Menanyakan Keyakinan, dimana tujuannya adalah untuk Membantu anak untuk fokus pada perbaikan di masa depan. Tahapan ini adalah tahapan dimana guru selaku manajer mengajak atau membimbing peserta didik untuk kembali lagi kepada keyakinan kelas yang dibuat, sehingga peserta didik dapat menemukan cara atau solusi dari kesalahan/pelanggaran yang sudah dilakukannya, dan bisa kembali lagi menjadi identitas sukses setelahnya.

Ketika semua hal di atas dapat dilakukan, niscaya lingkungan yang nyaman dengan budaya positifnya dapat terwujud. Tentu kolaborasi antara guru dengan pimpinan, murid, rekan guru lainnya serta orangtua harus selalu terjalin sehingga budaya-budaya positif ini bisa terwujud. 

Ingin sekolahmu nyaman dan tenteram? Budaya Positif adalah kunci terwujudnya hal tersebut.

Salam dan bahagia.






BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline