Indonesia dinyatakan sebagai negara penghasil sampah makanan terbesar Se-ASEAN. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah nasional pada tahun 2023 mencapai 26,20 juta ton. Mirisnya, ini terjadi di tengah Indonesia yang memiliki jumlah penduduk miskin 25,22 juta orang pada akhir 2023.
Sampah Makanan
Terlihat sepele, tapi sampah makanan yang dibuang oleh jutaan orang berkali-kali bisa menimbulkan berbagai permasalahan. Dari mulai permasalahan pangan hingga lingkungan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) tercatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Ditambah dengan total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbulan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 -ek. (tirto.id, 3/7/2024)
Belum lagi sampah yang menumpuk berpotensi menghasilkan berbagai penyakit. Sementara dari sisi sosial, fenomena sampah makanan ini terjadi di tengah jutaan balita stunting. Padahal, makanan yang terbuang itu cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia. Inilah potret jomplangnya kehidupan dalam sistem Kapitalisme Sekularisme. Di satu sisi ada yang berlebih dalam makanan sampai tak termakan dan di buang. Di sisi lain, ada yang kelaparan hingga kekurangan gizi.
Gara-gara Mindset Kapitalisme
Bukan hanya Indonesia, sampah makanan atau Food Waste menjadi permasalahan dunia. Diakui atau tidak ini terjadi karena mindset kapitalisme yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas. Dari mindset ini, kebutuhan makan akhirnya dianggap tak ada batas kenyangnya. Sehingga lahirlah konsumerisme, lapar mata, beli dan ambil makanan sebanyaknya, tanpa mengukur apakah betul-betul bisa dihabiskan atau tidak.
Dalam skala hulu, para produsen hanya sibuk produksi untuk meraih profit tinggi tanpa memperhatikan apakah produknya terserap oleh pasar atau tidak. Hasilnya, banyak yang tidak terjual, kadaluarsa dan akhirnya dimusnahkan. Begitu pun dalam bisnis Food and Beverage, ketika makanan di restoran dibuat terlalu banyak dan tidak habis terjual, maka mereka membuang semua sisanya. Ini dilakukan demi menjaga kualitas produk dan menghindari modus untuk menunggu sisa makanan daripada membelinya.
Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya mismanajemen negara dalam distribusi harta. Harta hanya berkumpul pada sebagian orang, sementara sebagian lain kesulitan. Lahirlah kemiskinan dan masalah lain yang senada seperti penumpukan beras bulog yang akhirnya busuk, berkutu, pembuangan sembako, dan semisalnya.
Apalagi yang banyak terbuang adalah beras dan jagung sebagai makanan pokok negeri ini. Sementara kita tahu pemerintah rajin sekali melakukan impor beras yang berbarengan dengan panen raya. Wajar jika akhirnya beras menumpuk dan tidak terdistribukan pada rakyat.
Inilah potret buruknya Kapitalisme menjalankan pemerintahan. Mereka sibuk dengan produksi tanpa memperhatikan distribusi, seolah produk tersebut bisa berjalan sendiri menghampiri rakyat. Memang membiarkan rakyat berusaha sendiri menghampiri produk yang ada, tak peduli apakah terjangkau atau tidak oleh rakyat dari aspek harga atau yang lainnya. Mereka pun memberikan racun konsumerisme, sehingga lahirlah manusia-manusia rakus. Rakus akan makanan, rakus akan harta dunia.