Lihat ke Halaman Asli

Risuma Lolok

Seorang Analis Hukum di BKN

Malaikat dan Sebuah Pelukan

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1379250406918126066

Kadang-kadang jika aku sendiri aku melihat malaikat tersenyum licik di sofa sambil menatapku. Oh sebodoh inikah diriku, dan malaikat itu terus saja memelototiku. Aku tidak punya hak untuk mengusirnya pergi. Dia telah diutus Tuhan untuk mengawasiku, siapa yang sanggup melawan otoritas Tuhan dalam hidup. Ya aku berhadapan dengan malaikat itu dan dia masih saja tersenyum licik dalam balutan putih tanpa noda. Kuberanikan diri bertanya, senyum itu dan pakaian putihnya, maksudku apakah ada mahluk legam yang bersembunyi di balik sosoknya yang tak bernoda dan hanya menampakkan senyumnya.

“Tidak!” Jawabnya tegas. “ini aku malaikat pelindungmu.”

“Senyum malaikat mendamaikan.”

“Kata siapa?”

“Sejagad raya mempunyai pikiran yang sama denganku”

“Ini senyum untuk menenggelamkanku ke dalam kesalahanmu, dan membuatmu kapok untuk berbuat kekonyolan lagi.”

“Aku merasa seperti wanita jalang karena senyummu, wahai malaikat pelindungku! Aku bukan wanita jalang kan?”

“Mengapa kenistaan selalu kau identikkan dengan wanita jalang? Bukankah mereka jalang agar kenyang?”

Aku berjalan ke arah pintu lalu menoleh padanya, “Bisakah kau tidak mengikutiku hari ini saja?”

Dia mengangguk lalu lenyap di sofa itu. Semoga dia benar-benar tidak mengikutiku. Aku membanting pintu. Tuhan aku belum berdamai dengan diriku sendiri. Aku membenci diriku karena orang-orang seakan-akan memberi aku cermin tentang siapakah aku, aku tidak membanggakan, itu inti dari setiap ucapan mereka. Aku mengecewakan. Mengapa mereka bertutur panjang lebar tentang diriku. Sebenarnya mereka bisa menarik satu kesimpulan kalau aku hanyalah seonggok daging yang bernyawa. Tidak lebih dan tidak kurang.

Si jangkung itu membelakang untuk mengunci pintunya ketika aku berjalan di koridor. Aku menggerutu dalam hati.

“Hai…” sapanya. Begitu ramah dan manis. Dia memakai kemeja kotak-kotak yang longgar. Lalu dia berjalan beriringan denganku menuruni tangga apartement kami yang tidak mempunyai lift.

“Aku pikir kamu gak ada di sini beberapa hari ini.”

“Aku mendekam di kamar!” jawabku singkat.

“Mendekam?” dia tertawa kecil, “ Ini bukan penjara, Non.”

Jangkung, aku yang memenjarakan diriku, bodoh! Jangan coba berakrab-akrab denganku! Aku takut, kalau kamu mengenalku kau akan mengatakan hal yang sama yang telah mereka katakan. Kamu cukup tahu nomor pintuku, segala yang menempel di situ dan bentuk wajahku! Rutukku dalam hati. Dia menggulung ujung kemejanya. Poster seorang laki-laki yang menempel di kamarku dan keinginan yang muncul secara misterius untuk bercanda dengan si Jangkung ini mebuatku tiba-tiba berceloteh,

“Ini baju peninggalan Kurt Cobain ya?”

Dia tertawa agak keras, bahunya naik turun. Aku sendiri kaget, ternyata aku mempunyai kreativitas humor yang cukup baik. Selama ini aku mengklaim bahwa aku seorang melankolis kakap. Wajahnya memerah, entah malu atau menganggap pertanyaanku terlalu lucu.

“Baju baru koq! Mahal harganya…sampai-sampai….”

“Sampai-sampai kenapa?”

“Harus dicicil!”

Kami berdua tertawa. Ini suatu kejutan pagi yang tidak pernah aku perkirakan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini. Bukankah tadi aku menyesal bertemu si Jangkung yang rama ini? Karena aku takut dia mengenalku lebih dekat lagi, karena aku pribadi yang jelek kata mereka! Aku tidak akan mendapatkan teman yang setia padaku, karena aku tidak disukai, walau aku tidak melukai. Akhirnya aku membenci diriku sendiri dan malaikat sialan itu selalu tersenyum sinis dan licik setiap kali aku mengutuk diriku. Malaikat pelindung bahkan diriku sendiri tidak menyukai diriku. Aku mulai curiga Tuhan juga seperti itu. Tapi sepertinya si Jangkung ini tidak. Maksudku dia belum membenciku…jangan-jangan akan membenciku.

Ketika kaki kami menyentuh lantai setelah meniti tangga terakhir, kami berdiri tegap bertanya satu sama lain akan pergi kemana. Aku kaget karena sebenarnya aku tidak punya tujuan.

“Plaza Sophis…” ucapku ragu-ragu. Dahinya sedikit berkerut menangkap keanehan dalam ucapanku.

“Kebetulan aku juga mau ke sana!”

Apa-apaan ini? Dia menuruni tangga menuju basement dan menyuruhku menunggu di luar. Tak lama kemudian aku merasa dikepung dalam sebuah mini bus hitam dengan wangi asing, suasana asing, dan….orang asing. Aku pernah membaca sebuah buku, seorang mafia yang memberi pesan kepada anaknya, jangan percaya siapapun termasuk aku sebagai ayahmu. Walau garis muka Si Jangkung tidak memperlihatkan sebuah jejak kriminal…tapi, harusnya tak secepat ini.

“Nama kamu siapa?”

“Jemimah…kamu?”

“Kurt!” Ucapnya dibarengi tawa.

Aku menyungging semyum tipis yang singkat membiarkan diriku dibohongi dan aku tidak berniat menuntutnya untuk memberi tahu namanya yang asli.

“Lucu ya, Jem, berbulan-bulan kita bertetangga tapi baru sekarang kita berkenalan!”

“Oya? Apa kita sudah benar-benar kenalan….Kurt?”

Sekali lagi dia tertawa sambil menaikkan volume lagu. Apa ini suatu kebetulan? Suara Nate Ruess yang sangat kukagumi membahana di mobil menyanyikan lagu “Carry On” yang terasa senduh dan syahdu pada baris-baris awal. Sebelum masuk bait kedua, musik mulai mengeras beat-nya menghentak-hentak, aku menunggu tempo untuk menyanyikan bait itu, tanpa malu-malu dan dengan suara yang keras, masa bodoh dengan anggapan Si Jangkung ini,

“ If you’re lost and alone…or you’re sinking like a stone, carry on. May your past be the sound of your feet upon the ground carr on! Carry on!! Carry on!!”….

Dia juga menyanyikan lirik itu dengan emosi yang sama, tekanan yang sama, dan penghayatan yang sama. Tidak perlu menyatakannya, sekarang kami sama-sama tahu kalau aku dan dia mempunyai selera musik yang sama. Kami menyanyikan baris-baris berikutnya dengan suara yang keras. Tanpa malu-malu dan sungkan bahkan pada lirik yang terkesan erotis.

“Kurt…kamu tau gak? Aku baru bisa menerima kematian Freddie Mercury dan Kurt Cobain setelah mengenal Nate Ruess!”

“Memangnya usiamu brapa waktu Freddie dan Kurt meninggal?”

“Dua tahun saat Freddie meninggal…..hmmm….berarti empat tahun saat giliran Kurt!”

Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

“Selera kita aneh! Lawas, hmmm…Kuno! Untungnya lagu-lagu mereka tidak mati ya!”

“Kurt, apa kamu setuju kalau Tuhan mengambil Beiber dan mengirim Freddie dan Kurt kembali?”

Lagi-lagi aku membuatnya tertawa. Apa ini yang namanya dekat? Didekatkan? Atau mendekat? Mengapa semuanya terjadi tanpa rencana, melesat bagai roket, dan terkesan instan. Aku ingin mencari alasannya selain karena kami menyukai lagu yang sama dan mengagumi musisi-musisi yang sama. Alasan yang masuk akal, bisa diterima nalar.

“Jemimah Sayang….” Suarah mendayuh melewati ruang misterius menggema di belakang kepalaku. Pasti malaikatku dengan senyum sinisnya sedang duduk di kursi belakang. Menertawakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalaku tentang semua ini. beberapa detik kemudian suaranya kembali menggema,

“Jemimah Sayang, Jemimah Bodoh! Ada yang mengatur pertemuan ini. Dia merencanakannya jauh-jauh hari. Dia yang kau rasakan kehadiran-Nya saat kau meraung meminta pertolongan dan mengucap syukur!”

“Maksudmu didekatkan?”

“Iya Bodoh! Jangan mencari-cari alasan mengapa…ini sesuatu yang terlalu besar untuk dicerna nalar manusia!”

Aku menarik napas panjang menerima menelan habis semua yang dikatakannya. Aku meneriakinya karena melanggar permintaanku. Aku minta dia tidak menemuiku sehari saja. Lalu dia melesat pergi entah kemana. Aku dan Si Jangkung memasuki plaza Shopis, aku bertanya apakah dia ada janji dengan seorang di tempat ini lalu dia menggeleng.

“Mau beli sesuatu?” Lagi-lagi dia menggeleng.

Dan sekarang aku mengerti, tadi saat kami mengunci pintu masing-masing, kami sebenarnya bingung mau kemana. Sesuatu yang menggelikan.

“Lagi diskon miring tuh!” dia menggerakkan matanya ke arah sebuah department store yang depannya dijejali boneka-boneka langsing.

“Memang penampilanku mirip shopaholic?”

Dia memperhatikanku dari ujung kaki sampai kepala.

“Sedikit!” katanya menekan ujung jarinya.

Aku masuk ke sebuah tokoh buku yang menjual naskah lama dan naskah baru. Di deratan buku import aku menemukan novel “The Old Man and The Sea”, langsung aku boyong ke kasir. Si Jangkung masuk sebuah tokoh kaset yang bersebrangan dengan toko buku. Seorang karyawan wanita yang sangat kemayu berdiri di sampingnya memegang beberapa CD. Sementara Si Jangkung sedang menikmati alunan-alunan lagu melalui earphone. Si Jangkung memang sangat jangkung dan berkulit pucat, jauh dari kata atletis. Dia sama sekali tidak pantas ditakuti. Tiba-tiba dia mengangkat pandangannya menangkap sosokku yang sedang memperhatikannya dari balik kaca. Aku salah tingkah!

***

“Apa kataku…kebahagiaan itu tidak jauh. Apa kau merasa bahagia akhir-akhir ini?”

Kuasku berhenti menari-nari diatas kanvas lalu menoleh ke arah sofa. Malaikat bawel itu! Dia memiringkan kepalanya untuk melihat gambarku. Gambar gelap punggung sesosok laki-laki yang menatap bulan.

“Siapa dia?”

“Hanya lelaki!”

“aku tidak perlu memaksamu jujur, kita sama-sama tahu siapa yang kamu pikirkan saat melukis ini!”

Aku menunduk. Dia seorang malaikat dan aku manusia.

“Mmmma…lai..katku!?”

“Yah?”

“Namanya Aloy!”

Aku ingin menceritakan pada malaiktaku ini bagaimana aku aku mengetahui namanya, Aloysius dan dipanggil Aloy. Saat meninggalkan toko buku kami menghabiskan sekitar tiga puluh menit di restoran cepat saji, melahap ayam goreng and menengguk satu botol besar cola. Pada menit-menit pertama kami membicarakan cuaca yang akhir-akhir ini tidak menentu sampai keluarganya dan caranya menafkahi hidup. Dia sudah lulus dari sebuah akademi perfilman. Beberapa sekolah elit membayarnya untuk mengajar kurikuler film dan dia juga menjadi layouter tetap sebuah tabloid remaja.

“Aku juga pekerja seni,” jawabku saat dia balik bertanya, “aku menjual lukisan!”. Dan sejak saat itu aku merasa kesal pada diriku. Dalam Kitab Petrus tertulis, “Kamu adalah hamba terhadap apa saja yang menguasaimu”. Aku diperhamba kenikmatan kehangatan sikap Kurt. Aku merasa bahagia sekalipun dalam sehari dia hanya menyapakau dengan senyum manisnya itu, dengan kelembutan yang didamba setiap wanita dari seorang lelaki. Aku menunggu waktu dimana aku mulai berpikir bahwa Kurt bosan padaku, tapi aku tak kunjung merasakannya. Dia tetap hangat padaku, hanya aku yang membatasi diri karena rasa takut. Aku terus memanggilnya Kurt hingga suatu pagi seorang mengetuk pintuku sambil membawah sebuah bingkisan. Dari bentuknya aku tahu kalau bingkisan itu dikemas di sebuah toko Elektronik dan si kurir juga memakai seragam dari toko itu.

“Maaf, Mbak! Pengnuni kamar 303 ke mana ya? Ada bingkisan kamera DSLR dari orangtuanya, kemarin ibunya menghubungi toko kami dan minta mengantarkan ke alamat ini.”

Aku mengangkat bahu sambil memperhatikan kardus itu. Kepada Kresna Aloysius. Karena kebingungan kurir itu menitip barang tersebut kepadaku sambil melihat identitasku sekilas. Aku menempelkan memo di pintu Kurt memberi tahu keberadaan benda tersebut dan ucapan selamat ulangtahun karena rangkaian tulisan lain di kerdus itu menunjukkan kalau kamera ini adalah hadiah ulangtahun, tulisan-tulisan itu singkat agak formal, dan tidak bernada akrab.

Tengah malam pintuku diketuk, senyumku mengembang sebelum berlari ke arah pintu mendapati Kurt dengan wajah yang tidak kubayangkan sebelumnya. Aura ceria itu lenyap dari wajahnya!

“Hai….Aloy!” dia menyungging senyum karena keharusan! Aku beranjak mengambil bingkisan itu lalu menyekannya.

“Akhirnya kau tau namaku Jem!” katanya lesu.

“Selamat ulangtahun ya!”

Lagi-lagi dia tersenyum, “Terima kasih Jem. Hari ini tak satupun yang menyentuh tanganku dan mengucapkan selamat ulangtahun!”

Wajahku berubah menjadi raut penuh simpati, aku mengusap-usap lengannya.

“Bisakah kau memelukku sekali ini saja?”

Aku terbelalak, “Apa??”

“Maaf, Jem. Aku….lupakan! Selamat tidur ya!” dia beranjak pergi membawa bingkisan itu.

Perasaanku tidak menentu. Bersalahkah aku padanya. Malaikatku mengacungkan telunjuknya di depan dahilku!

“SALAH!”

Dia menyeretku keluar apartement menuju pintu Aloy. Pintunya tidak rapat. Aku mebukanya perlahan. Dia sedang duduk menghadap jendela dengan kedua bahu menjulang menunjukkan kerapuhan yang luar biasa. Aku berjalan perlahan ke arahnya sambil menyentuh bahu itu, dia menoleh perlahan.

“Maaf,” ucapku, “semalam aku tidak memenuhi permintaanmu…..tapiii!”

Bola mata kami saling menatap bukan saling menantang tapi makin menyatuh, aku membungkuk memeluknya erat dan erat lagi. Aku mencium aroma itu, aroma orang-orang yang menghabiskan waktu berkubang dalam kesedihan.

“Terima kasih Jamimah, sepertinya aku adalah orang yang paling diberkati pagi ini.”

Malaikatku beranjak pergi dengan linangan airmata haru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline