Misogini dapat dipahami sebagai kebencian, ketidaksukaan, atau prasangka buruk terhadap perempuan. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani "misos" yang berarti kebencian, dan "gyne" yang berarti perempuan. Misogini dapat tercermin dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi, stereotip, pelecehan, hingga kekerasan fisik dan psikologis terhadap perempuan. Misogini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga dapat terjadi di antara sesama perempuan.
Misogini dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari di Indonesia. Beberapa contohnya termasuk diskriminasi di tempat kerja, di mana perempuan sering kali mengalami diskriminasi dalam bentuk upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, serta kurangnya kesempatan untuk promosi atau pengambilan keputusan.
Stereotip gender yang menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, emosional, dan tidak kompeten dalam urusan-urusan serius atau kepemimpinan juga merupakan bentuk misogini. Selain itu, perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja, di jalan, atau bahkan di rumah, serta kekerasan berbasis gender yang mencakup kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan bentuk kekerasan lainnya yang didasarkan pada gender.
Laki-laki sering kali menunjukkan sikap misoginis melalui tindakan merendahkan, melecehkan, atau mengeksploitasi perempuan. Misalnya, di tempat kerja, laki-laki mungkin merendahkan kontribusi perempuan atau mengeksploitasi mereka secara seksual. Namun,
ironisnya Misogini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga dapat terjadi di antara sesama perempuan. Ini bisa terlihat dalam bentuk persaingan yang tidak sehat, gosip yang merendahkan, atau penilaian keras terhadap pilihan hidup perempuan lain. Misalnya, perempuan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak sering kali menghadapi kritik dari perempuan lain. bahkan dalam beberapa kasus bisa dilakukan oleh ibu ke anak perempuannya sendiri.
Dalam beberapa kasus, ibu mungkin memperlakukan anak perempuan mereka dengan cara yang merendahkan atau mengkritik. Ini bisa mencakup tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis, atau pembatasan terhadap kebebasan anak perempuan untuk mengejar pendidikan atau karir tertentu.
Beberapa faktor yang menyebabkan misogini di Indonesia antara lain adalah:
Patriarki
sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan perempuan sebagai subordinat. Norma dan budaya tradisional juga memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah dan bergantung pada laki-laki. Misalnya, anak-anak yang tumbuh tanpa pemahaman tentang gender equality cenderung mengadopsi dan memperkuat peran gender tradisional yang membatasi potensi perempuan.
Kurangnya pendidikan tentang gender
Kurangnya pendidikan tentang gender dan hak-hak perempuan dapat memperkuat sikap misoginis. Pendidikan tentang gender tidak hanya penting di sekolah, tetapi juga di rumah dan masyarakat luas, melalui kampanye kesadaran dan program pemberdayaan.