Lihat ke Halaman Asli

Pelangi

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah kereta, melaju kencang menuju kota impian, ya kota impian sebuah anak kecil yang pergi bersama ayahnya. Mereka berdua hanyut dalam suasana menggembirakan perjalanan menuju kota impian tersebut, sang anak bertanya, "ayah, bisa kah nanti aku menggapai pelangi?", lalu dengan bijak sang ayah menjawab, "tentu, suatu saat nanti engkau dapat menggapai pelangi nan indah disana", sekejap, sang anak tersenyum lebar mendengar jawaban ayahnya. Waktu saat itu menunjukkan pukul 5 sore, saat sang matahari bersiap untuk kembali bersembunyi dari malam. Cahaya jingga berkilau menusuk setiap jendela kereta dengan indahnya. Perjalanan mereka terus berlanjut hingga sampai pada tujuannya, ya mereka sampai di kota impian sang anak kecil. Mereka bergegas keluar dari stasiun untuk mencari kendaraan berikutnya. Sang anak pun kembali bertanya, "ayah, apakah nanti aku akan bersama ayah saat aku mencapai pelangi?", dengan senyuman bijak sang ayah menjawab,"tidak anakku, kelak nanti saat engkau mencapai pelangi, dirimu hanya sendiri, menuju kebahagiaan", mendengar kata tersebut, sang anak marah dan menangis seraya memeluk ayahnya, ia terus berbicara dan memohon ayahnya untuk menemaninya saat menggapai pelangi. Tujuh belas tahun kemudian, sang anak tumbuh menjadi seorang yang dewasa, ia pun mendapatkan kehidupan yang baik, kehidupan yang didambakan setiap orang. Suatu hari, ia pergi kembali ke kota impiannya sewaktu kecil, namun ia pergi sendiri, tanpa seorang ayah. Kakinya pun telah menginjak tanah kota impian tersebut, menatap setiap jarak yang ia pernah lalui, yang ia ingat sebagai kisah yang akan selalu menjadi pijakkannya. Berhenti pada sebuah tempat yang indah, penuh dengan pohon serta rerumputan hijau. Berlutut lah ia di hadapan sebuah gundukan tanah yang terhiasi rapi oleh rumput dan berbagai macam warna bunga. "Ayah, kini aku mengerti mengapa aku tidak bisa menggapai pelangi itu denganmu, aku mengerti mengapa aku harus sendiri menggapai pelangi itu", ia pun menaruh sekuntum bunga dan menaburkan wewangian yang membuat tanah itu harum nan menyejukkan. "Ayah, aku akan terus menjaga agar pelangi itu tetap indah, tetap indah seperti kasihmu kepada seorang anak". Ia pun melangkahkan kakinya pergi dari tanah itu, setiap langkah kakinya terus berderap dengan senyuman, senyuman seorang anak yang telah tumbuh menjadi dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline