Lihat ke Halaman Asli

Hidup Itu Memberi Manfaat (2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melanjutkan dari tulisan sebelumnya, makna kedua dari sabda Rasulullah, ‘Khoirunnaas anfa’uhum linnas’ adalah sebuah penegasan bahwa kita ini memang diciptakan sebagai makhluk sosial. Sejenis makhluk yang mau tidak mau harus hidup berkelompok. Nah, hidup berkelompok itu maknanya luas juga.

Manusia tidak akan dapat hidup sendiri. Dia membutuhkan manusia lain untuk melengkapi hidupnya. Dia membutuhkan pihak lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup akan pangan, pakaian, tempat tinggal, pergaulan dan seterusnya. Untuk makan kita membutuhkan petani yang menanam padi dan berasnya  kita konsumsi setiap hari. Dan untuk urusan perut saja kita ternyata membutuhkan lebih banyak jenis petani. Ada petani sayuran, petani palawija, petani buah-buahan, petani kopi, teh dan sebagainya.

Termasuk petani kapas yang pada akhirnya hasil kapas tersebut diolah menjadi gulungan benang. Untuk dapat menjadi pakaian harus pula kita berterimakasih kepada pabrik pembuat kain dan pada gilirannya kita harus banyak berterima kasih kepada tukang jahit yang menjadikannya pakaian itu siap kita pakai.

Untuk bisa tidur nyaman, terlindung dari cuaca dingin dan gangguan lain kita tentu membutuhkan para ahli bangunan. Pada merekalah kita harus berterima kasih karena gedung,  jembatandan rumah-rumah telah banyak dibangun. Meskipun sederhana, asalkan rumah itu cukup untuk bernaung sebuah keluarga. Kalaupun toh yang bernama rumah itu hanya mampu terbuat dari papan, masih bisa sebuah keluarga membangun harapan. Belum lagi jika rumah itu harus berbentuk mewah. Semakin besar juga jasa para ahli bangunan itu memenuhi selera si pemilik rumah. Anehnya, sudah sedemikian indah bentuk rumah mewah itu, ternyata masih juga kita menyebut para pembangun itu ‘tukang’.

Rentetan kebutuhan itu pasti akan panjang daftarnya. Semakin banyak harta kita semakin banyaklah kebutuhan kita. Daftar yang panjang tersebut pasti tak satupun yang tidak melibatkan ‘pihak lain’ selain diri sendiri. Jadi, karena kita makhluk sosial dan kita tahu bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri maka kita harus mulai belajar berterima kasih atas kehadiran dan peran orang lain itu.

Berterimakasih itu ternyata bukan sekadar perlu tetapi merupakan keharusan. Rasa terima kasih itu juga sebenarnya lebih tepat kalau kita posisikan sebagai sebuah ‘penghargaan’. Setiap peran yang orang lain berikan kepada kita, langsung ataupun tidak langsung, patutlah diberi penghargaan. Penghargaan itu tentu tidak hanya berupa ucapan, upah atau simbolis lainnya. Tetapi penghargaan dalam arti sesunggguhnya. Yaitu bahwa manusia lain itu telah banyak sekali membantu tercukupinya kebutuhan kita, maka untuk itu seharusnya kita dan orang lain tersebut bersifat setara. Kata kuncinya adalah penghormatan.

Namun ironisnya hukum pemaknaan seperti ini tidak banyak berlaku dalam kehidupan nyata. Pemaknaan seperti uraian diatas seringkali hanya sebatas teori saja. Kenyataannya, masih banyak dokter yang berlaku lebih tinggi dari si perawat. Apalagi jika dibandingkan dengan tukang bangunan. Seorang dosen yang lebih bangga ketimbang guru. Apalagi kalau guru itu cuma honorer. Takmir masjid yang merasa lebih mulia dari pada garin / marbot. Ada juga garin yang merasa lebih mulia dari jamaah masjidnya. Atau Penumpang yang lebih merasa tinggi ketimbang si supir angkot.

Celakanya lagi, semakin banyak uang kita, semakin berlimpah harta kita semakin besar pula peluang kita untuk memposisikan orang lain itu sebagai cuma ‘tukang’. Kepada dokter kita Cuma menyebutnya ‘tukang ngobatin’. Kepada para petugas Amil Zakat kita sering gampang menyebutnya ‘tukang pungut zakat’. Kepada perawat kita cuma memanggilnya ‘tukang rawat’. Kepada petugas kebersihan lingkungan kita cuma memanggilnya ‘tukang sampah’. Kepada muadzin kita kerap memanggilnya ‘tukang adzan’. Kepada pihak yang telah merapikan dan memperindah rambut kita, biasa saja kita memanggilnya’tukang cukur’. Kepada orang yang membantu pekerjaan rumah kita, lebih akrab kita menyebutnya ‘tukang cuci’, ‘tukang ngepel’, ‘tukang nyapu’ dan tukang lainnya.

Jadi betapa teori ‘kesetaraan manusia’ itu hanya ada di ruang wacana saja. Dahsyatnya lagi wacana itu sudah terlanjur menjadi semacam ‘teori’ juga. Klise juga sebutan teori itu. ‘Kesetaraan Manusia’.

Di alam nyata ‘teori’ tadi tidak banyak mendapat tempat. Kepada orang lain yang telah banyak membantu, kita hanya memposisikannya sebagai ‘tukang’. Dan posisi tukang itu tadi, kita sudah merasa layak jika rasa terima kasih, penghargaan kepadanya itu hanya sebatas ‘upah’. Jadi, karena dia ‘tukang’, penghargaan yang pantas adalah ‘upah’.

Kepada orang-orang yang telah banyak ber’jasa’ kepada kita itu, kita baru bisa melepaskan upah. Kita sering lupa berkata ‘terima kasih’. Apalagi jika harus memposisikannya secara sederajat dan penghormatan yang sepantasnya. Ya, pemahaman kita bahwa mereka inilah orang-orang yang wajib adanya bagi kita nampaknya masih jauh.

Untuk itulah kita perlu kembali pada pesan Rasulullah di atas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Thomas Alfa Edison adalah manusia yang paling berjasa  hingga kini karena menemukan lampu pijar. Karyanya bermanfaat bagi hampir semua manusia didunia. Bayangkan nilai kemanfaatan yang telah beliau kontribusikan. Hanya saja saya tidak tahu di akherat ia masuk surga ataukah tidak lolos verifikasi.

Memang untuk menjadi berprestasi seperti Thomas Edison tentu tak semua kita berkesempatan. Bahkan, memiliki modal kecerdasannya saja tak cukup. Tetapi kita masih bisa menjadi manusia berguna. Jika skalanya tidak mendunia, cukuplah manfaat itu dirasakan oleh bangsa ini. Cukup memenangkan olimpiade pelajar tingkat internasional dan pulang mengharumkan nama bangsa.

Jikapun derajatnya tidak sampai menasional, sudah bagus kiranya jika menjadi orang bermanfaat bagi warga di daerahnya. Cukup menjadi atlet berprestasi dan meraih medali emas untuk kontingen daerahnya saat PON berlangsung. Atau cukup menjadi walikota/ bupati berprestasi dan berkarakter, yang kotanya berhasil meraih Adipura, sukses menurunkan  angka kemiskinannya, paling rendah angka penganggurannya, paling aman kotanya, paling bahagia rakyatnya.

Jika tak sanggup juga, cukuplah kiranya kita menjadi imam masjid yang cendikia bersahaja. Menjadi marbot yang tulus melayani jamaah. Boleh juga menjadi kepala desayang melayani warga sepenuh hati.  Menjadi guru yang tidak hanya mengajar tapi sekaligus mendidik. Supir angkot yang aturan lalu lintas ia mengerti. Nyaman membawa kendaraannya dan lihai mengantisipasi kemacetan.

Setidaknya apapun status, profesi dan peran kita di lingkungan masyarakat, haruslah kita upayakan agar bernilai manfaat kepada diri dan orang lain. Semakin banyak pihak lain yang merasakan manfaat atas kehadiran kita semakin besar tabungan kebaikan kita. Jangan sampai kepada diri sendiri saja tak dapat membwa manfaat. Tetapi mudah-mudahan orang yang tidak bermanfaat ini juga tidak sedang merugikan masyarakat, membuat celaka orang lain dan hidupnya serupa sampah.

Sampah saja masih bisa memberi manfaat. Jadi kalau ada manusia yang tidak berkontribusi dan memberi manfaat ya ia sedang merendahkan dirinya dihadapan sampah. Mari hidup penuh manfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline