kualitas alat bukti tidak lagi paripurna karena telah terdistorsi oleh status tersangka cukup lama dan tidak tidak dilimpahkan
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, harus dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau biasa disebut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, mengatur jenis-jenis alat bukti, antara lain:
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Dengan demikian, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, harus didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti.
Sayangnya, banyak kasus dimana seseorang setelah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik atau penuntut umum tak kunjung melimpahkan kasus tersebut di pengadilan. Masalah teranyar, yang menjadi sorotan publik adalah kasus RJ Lino, mantan Direktur Utama PT. Pelindo II. Lebih dari 5 tahun RJ Lino menyandang status sebagai tersangka, hingga akhirnya ditahan KPK pada 26 Maret 2021. KPK menjerat RJ Lino dalam kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC) di PT Pelindo II. RJ Lino diduga menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi dalam pengadaan tiga unit QCC pada 2010. Lino juga diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan memerintahkan penunjukan langsung kepada perusahaan asal China untuk pengadaan tiga QCC tersebut. Pada saat itu, Lino menjabat Direktur Utama PT Pelindo II (sumber: detik.com).
Status tersangka RJ Lino yang terkatung bertahun-tahun, bukanlah kasus pertama dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Penulis, sebagai praktisi hukum (pengacara), pernah punya pengalaman menangani klien yang menyandang status tersangka 6 tahun, baru dilimpahkan ke pengadilan. Dan, masih banyak yang lainnya.
Hukum positif kita, memang tidak mengatur perihal jangka waktu dilimpahkannya sebuah kasus di pengadilan. Namun, pelimpahan seorang tersangka di pengadilan untuk segera mendapatkan kepastian hukum, tersirat harus sesegera mungkin dilakukan sebagaimana termuat dalam Pasal 50 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang mengatur bahwa (1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum; (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. Hal ini sejalan pula dengan sunrise principle dalam sistem peradilan pidana, yang berarti bahwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sesegera mungkin dinyatakan sebagai tersangka dan diproses secara hukum secepatnya diajukan ke pengadilan.
Hak tersangka atau terdakwa untuk segera dilimpahkan kasusnya di pengadilan adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak pidana, terutama mereka yang dikenakan penahanan jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan. Sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga, pelimpahan sesegera itu, untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
UUD Tahun 1945 dan berbagai kovenan internasional, juga menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam praktik peradilan, pengadilan pernah mengabulkan permohonan praperadilan seseorang yang status tersangkanya terkatung-katung tanpa kepastian hukum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa: "kualitas alat bukti tidak lagi paripurna karena telah terdistorsi oleh status tersangka cukup lama dan tidak tidak dilimpahkan"
Dengan demikian, mengingat tidak adanya batas waktu pelimpahan seorang tersangka ke pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum atas status tersangkanya, pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan praperadilan atas status tersebut atau mengajukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi, khususnya terhadap Pasal Pasal 50 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, dengan tujuan untuk mendapat kepastian hukum berkenaan dengan jangka waktu pelimpahan sebuah perkara (kasus) di pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H