Kampung Cireundeu merupakan sebuah kampung adat yang terletak di kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Luas Kampung adat Cireundeu kurang lebih 42 hektare yang terdiri dari 60 hektare untuk pertanian dan empat hetare untuk pemukiman.
Kampung adat ini memiliki keunikan tersendiri, di mana warga aslinya tidak mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Sebagai gantinya, warga Cireundeu memanfaatkan singkong untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Pemilihan singkong sebagai bahan makanan pokok tersebut tidak dilakukan tanpa alasan. Hal ini memiliki keterkaitan erat dengan kondisi rakyat Cireundeu pada masa penjajahan Belanda dahulu. Singkong dipilih oleh para tetua adat untuk memerdekakan masyarakat desa mereka dari ketergantungan pada padi sebagai sumber pangan utama. Singkong juga menjadi solusi terhadap kemungkinan gagal panen karena singkong dapat ditanam sepanjang tahun.
Jenis singkong yang dipilih oleh mereka adalah singkong pahit yang dikenal memiliki kandungan sianida tinggi. Pemilihan singkong ini merupakan langkah pencegahan agar Belanda tidak dapat merampasnya sebagai upeti atau sumber pangan. Oleh karena itu, diperlukan cara khusus dalam mengolahnya dengan menggunakan kain dan anyaman bambu untuk menghilangkan kandungan sianida pada singkong
Sunda Wiwitan (Sunda: ) adalah ajaran agama dengan unsur monoteisme purba, yang memiliki konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud dan disebut "Sang Hyang Kersa" yang setara dengan "Tuhan Yang Maha Esa" di dalam ideologi Pancasila. Ajaran ini juga disebut-sebut sebagai kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat asli suku Sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti orang Kanekes di Kabupaten Lebak, Banten dan sebagian kecil orang Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam
secara tradisi singkong merupakan simbol yang menggambarkan pedoman yang mereka anut yaitu "Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat" yang memiliki arti yaitu tidak punya sawah asal memiliki padi, tidak punya padi asal memiliki beras, tidak memiliki beras asal memiliki nasi, tidak memiliki nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Arti dari pedoman tersebut memiliki arti bahwa makan tidak harus selalu nasi yang berasal dari padi, namun sisi lain dari pedoman tersebut, warga asli kampung Cireundeu yang sekarang masih meneruskan tradisi untuk mengonsumsi rasi sebagai pangan utama, tidak makan asal kuat memiliki arti yaitu meminta kekuatan pada Pangeran dan ketika warga kampung cireundeu memakan nasi yang berasal dari padi akan ada perasaan aneh yang dirasakan, memakan nasi bukan berarti dilarang oleh para tokoh warga kampung cireundeu, tetapi perasaan tersebut muncul karena rasa menjunjung tinggi dan menghargai mengenai adat yang masih kental di kampung cireundeu
Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi memiliki hutan keramat dan mitos yang masih dipercaya hingga kini. Terdapat larangan dan pantangan yang harus dipatuhi bagi mereka yang ingin memasuki hutan tersebut. Berlokasi di sebuah lembah yang dikelilingi oleh tiga gunung, yaitu Gunung Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajahlangu, kampung ini memiliki keindahan alam yang memukau. Keelokannya tetap terpancar karena kebijaksanaan lokal warga dalam merawat dan menjaga sumber daya alam yang diberikan. Kampung Adat Cireundeu itu sendiri terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Kampung ini masih memegang teguh kelestarian tradisi dan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Namun, di tengah pesona alam yang tak pudar meski berada di wilayah perkotaan, Kampung Adat Cireundeu menyimpan sebuah hutan yang dianggap keramat. Bahkan, terdapat larangan untuk berburu dan menangkap satwa liar di kawasan tersebut.Terdiri dari tiga hutan, yaitu Hutan Larangan, Tutupan, Baladahan, hingga Puncak Salam, tempat ini konon tidak boleh diakses dengan sembarangan. Dahulu, warga yang ingin menjelajahi hutan ini diharuskan menjalani puasa total atau mutih.Namun, seiring berjalannya waktu, tempat-tempat ini mulai menjadi tujuan populer bagi masyarakat umum. Pengunjung sekarang diperbolehkan masuk ke dalam hutan larangan, dengan syarat melepas alas kaki, baik itu sandal maupun sepatu.
Warga juga memercayai dan melakukan meditasi sebagai bentuk rasa syukur terhadap alam. Lokasi meditasi mereka adalah Puncak salam.
Bermeditasi di Puncak Salam, bagi warga, bisa mengumpulkan energi dari alam. Puncak Salam sendiri adalah bukit setinggi 905 mdpl. Bukit ini sering menjadi lokasi gamping around oleh wisatawan. Masyarakat Cireundeu juga menjadikan Puncak Salam, selain untuk meditasi, untuk lokasi peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
oleh sebab itu Menjaga kebudayaan kampung adat merupakan satu hal yang sangat penting karena kebudayaan tersebut merupakan bagian dari identitas dan warisan budaya Indonesia yang kaya. Selain itu, menjaga kebudayaan kampung adat juga dapat membantu mempromosikan pariwisata dan meningkatkan perekonomian lokal. Hal ini juga dapat membantu melestarikan pengetahuan dan keterampilan tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H