Ulasan film yang saya tulis ini sebelumnya telah dipublikasi di situs Fopini.id pada Desember 2021. Ulasan ini dipublikasi ulang di Kompasiana menjelang perayaan Festival Film Indonesia 2022.
"Buuaangsat tenan!"
Ya kurang lebihnya itu impresi saya ketika selesai membaca novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dua tahun yang lalu. Jujur, selain tertarik akan premis ceritanya, alasan saya membaca novel Seperti Dendam juga agar khusyuk ketika menonton filmnya. Sepanjang merenungi muatan ceritanya, saya jadi membayangkan, akankah filmnya bisa seberani novelnya? Akankah ekspektasi saya dibayar tuntas?
Film Seperti Dendam mengikuti kisah Ajo Kawir (Marthino Lio), si jagoan dari Bojongsoang yang berani berkelahi tanpa takut mati. Nyali tebal Ajo Kawir dilatarbelakangi oleh fakta menyakitkan: burungnya gabisa ngaceng. Hidup Ajo Kawir berubah setelah bertemu Iteung (Ladya Cheryl), gadis yang juga jago dalam berkelahi. Kemudian kisah Ajo Kawir menjadi soal benturan antara cinta, dendam dan rindu.
Kompleksitas Naratif dan Muatan Subversif
Walaupun lupa-lupa ingat dengan alur persisnya di novel, tapi saya tetap merasa beruntung telah membaca novelnya sebelum menonton film ini. Saya serasa menjadi penonton yang tinggal menunggu suguhan spesial yang akan saya nikmati sepanjang menonton. Terbukti, Edwin dan Eka Kurniawan mampu mengemas kompleksitas cerita novelnya ke dalam kemasan sinema.
Naskahnya yang sangat padat, tetap berhasil mengadaptasi kegilaan dan kenekatan materi novelnya. Serta yang terpenting, film ini masih mampu menjaga muatan ceritanya yang subversif. Terdapat beberapa perubahan plot yang ada dalam cerita di film ini, yang mana menjadi bagian aneh sekaligus unik. Walau begitu, saya malah menyukai beberapa perubahan tersebut, tanpa terasa mengkhianati sumber aslinya.
Nah, di tengah-tengah film saya mencoba untuk berempati kepada penonton yang belum sempat membaca novelnya. Saya baru menyadari segala kepadatan dan kompleksitas cerita bisa jadi memberi jarak kepada penonton non-pembaca. Pacing film yang terasa cukup ngebut, bahkan terkesan jumpy di paruh awal saya rasa cukup membuat penonton ngos-ngosan. Di tambah lagi dengan banyaknya tokoh yang muncul dan harus diperkenalkan satu persatu. Penonton belum sempat mengenal Iwan Angsa, sudah harus mengenal Paman Gembul, kemudian siapa itu Pak Lebe? Tunggu dulu, Si Macan itu siapanya siapa? Lha ini Rona Merah siapa lagi? Lho iya, Ajo Kawir punya sahabat namanya Tokek toh, dsb dsb. Konsentrasi penonton memang sangat dibutuhkan saat menonton film ini. Serius.
Dibalik kompleksitas ceritanya, penceritaan Edwin yang compelling dapat dengan mudah menggaet perhatian penonton. Terlebih lagi presentasi di paruh ketiga film ini yang menyimpan unsur magis yang bahkan tidak pernah diantisipasi kedatangannya. Paruh ketiga film ini juga mampu membantu penonton untuk connecting the dots, menginterpretasi maksud ceritanya dan dapat memicu pemantikan ruang diskusi antar penonton.
Pendekatan yang Imersif nan Antik