Resensi film Lewat Djam Malam (1954) berikut ini berpotensi spoiler.
Jauh sebelum tagar #ReformasiDikorupsi populer saat aksi nasional tahun 2019, tagar #RevolusiDikorupsi seharusnya bisa lebih dulu populer pada era 50an. Namun tentu saja pergerakan dan narasi yang timbul di era pasca kemerdekaan berbeda bentuk dengan era sekarang.
Nyatanya, terlepas dari spirit revolusi yang dianut sebagian orang, era pasca kemerdekaan rasa-rasanya mewarisi budaya sosial-politik kotor yang langgeng. Potret kotor budaya sosial-politik tersebut bisa diabadikan oleh Usmar Ismail dalam filmnya yang berjudul Lewat Djam Malam.
Berlatar pada masa-masa pasca gerakan sporadis revolusi nasional, dimana kemerdekaan Indonesia sempat dipertaruhkan dan mengalami revolusi sosial yang masif. Iskandar, seorang mantan pejuang dan juga mantan mahasiswa, ikut berjuang pada masa revolusi nasional.
Sepulangnya ia dari medan perang, ia punya tujuan sederhana yakni kembali ke masyarakat. Kembali memiliki kehidupan sosial yang normal bak warga sipil lainnya, dengan tetap menjunjung tinggi spirit revolusi dan kontribusi terhadap pembangunan negara.
Ternyata bagi Iskandar, beradaptasi dengan kehidupan sosial masyarakat tidak semudah masuk, lalu berperan secara langsung. Ia dibenturkan dengan kenyataan bahwa nilai-nilai perjuangan revolusi di masyarakat, ternyata tidak sebersih yang ia pikirkan. Kemudian semuanya memicu pergolakan dalam batin Iskandar, yang mempertanyakan mengapa hasil dari pergerakan revolusi menjadi sedemikian busuknya.
Lewat Djam Malam sebenarnya memiliki cakupan cerita yang cukup sempit dan linier. Berlatar waktu dua hari kurang, yang mana membuat laju ceritanya terasa lambat bahkan cenderung draggy.
Terlepas dari itu, film ini justru berbicara tentang banyak hal. Tentang angan dan keinginan, potret kelas sosial, ragam kondisi mantan pejuang di masyarakat dan kondisi korupnya revolusi pembangunan.