Fathul Bari
Memasuki era modern saat ini, kebutuhan akan sumber energi terbarukan semakin mendesak seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif dari penggunaan bahan bakar fosil. Salah satu potensi besar untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut dapat ditemukan dalam limbah industri, khususnya limbah dari pabrik gula. Pabrik gula, sebagai salah satu industri pertanian yang penting, menghasilkan sejumlah besar limbah cair dan padat yang sering kali hanya dibuang tanpa dimanfaatkan. Namun, dengan inovasi teknologi yang tepat, limbah ini dapat diubah menjadi sumber energi baru terbarukan yang berkelanjutan.
Limbah pabrik gula umumnya terdiri dari dua jenis, yaitu limbah padat yang berasal dari ampas tebu dan limbah cair yang mengandung bahan organik. Limbah padat ini, yang dikenal sebagai bagasse, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi bioenergi. Melalui proses pembakaran atau konversi menjadi biogas, bagasse dapat menghasilkan energi yang cukup untuk mendukung operasional pabrik gula itu sendiri, atau bahkan untuk dijual ke jaringan listrik nasional.
Berdasarkan Peraturan Presiden RI nomor 5 tahun 2006, sasaran kebijakan energi nasional menargetkan terwujudnya energi primer yang optimal pada tahun 2025 dengan sebaran minyak bumi sebesar <20%, gas bumi >30%, Batubara >33%, Biofuel >5% dan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) lainnya >5% (KESDM, 2006). Sumber energi fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam merupakan sumber energi yang tidak ramah lingkungan, karena reaksi pembakarannya menghasilkan kadar emisi gas CO2 (Amalia, 2021).
Penggunaan alternatif hydrogen juga dapat diaplikasikan pada fuel cell untuk mengasilkan energi listrik. Jenis hidrogen yang bersumber dari bahan organik dikenal dengan istilah biohydrogen. Hidrogen jenis tersebut dapat dihasilkan melalui beberapa metode, antara lain biofotolisis, foto fermentasi, fermentasi gelap. Fermentasi gelap memproduksi biohydrogen melalui mekanisme heterotroph menggunakan glukosa dan karbon energi tanpa melibatkan sumber energi berupa cahaya seperti pada proses biofotolisis dan foto fermentasi. Salah satu sumber glukosa yang dapat digunakan yaitu limbah blotong industri gula dari Pabrik Gula Krebet. Limbah blotong merupakan istilah yang digunakan untuk penyebutan limbah padat tebu. Limbah blotong tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal karena sejauh ini masih hanya dijadikan sebagai pupuk tanaman gratis dan bahan tambahan dalam pembuatan batu bata. Padahal, limbah ini masuk dalam kategori limbah organik dan dapat diolah lebih lanjut menjadi sumber biohydrogen. Limbah ini mengandung 41% senyawa organik sehingga cocok digunakan sebgai hidrolisat, yakni istilah yang digunakan penyebutan senya sumber bio hidrogen (Amalia, 2021).
Salah satu inovasi teknologi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan limbah pabrik gula adalah penggunaan bioreaktor. Bioreaktor adalah sistem yang memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam limbah cair menjadi biogas, yang kaya akan metana. Biogas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memproduksi energi listrik melalui generator. Selain itu, proses ini juga membantu mengurangi pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah cair, menjadikannya lebih ramah lingkungan.
Integrasi sistem Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) juga menawarkan solusi yang menarik untuk memanfaatkan energi dari limbah pabrik gula. PEMFC dapat mengubah hidrogen yang dihasilkan dari proses fermentasi limbah organik menjadi listrik. Maka dengan menggunakan teknologi ini, pabrik gula tidak hanya dapat memproduksi energi sendiri, tetapi juga dapat menghasilkan surplus energi yang dapat dijual ke konsumen lain.
Teknologi ini merupakan suatu sistem terintegrasi yang terdiri dari bieraktor pengolah substrat limbah cair dan limbah blotong mejadi biohodrogen melalui proses fermentasi gelap dengan bantuan kultur Clostridium Sp, selanjutnya biohydrogen akan difiltrasi menggunakan kontraktor membrane NPPM (Nonporous Polymer Membrane) untuk mendapat konsentrasi hodrogen pekat. Kontraktor membran ini merupakan perangkat pemisahan gas melalui suatu membrane, dengan cara memisahkan zat pengotor seperti H2S dan CO2 dialirkan ke bagian tangka pembuangan dengan bantuan pompa, sedangkan biohydrogen (bio-H2) keluar melalui membrane sebagai ratentat. Gas biohydrogen akan masuk ke bagian inlet PEMFC dan berkontak dengan anoda dan terpecah menjadi proton H selanjutnya proton tersebut mengalir kebagian katoda dan berkontak dengan gas oksigen (O2) menghasilkan uap air, sementara itu aliran electron mengalir ke current collector dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif pada Pabrik Gula Krebet, maupun sumber energi listrik, kemudian, energi listrik tersebut dapat digunakan sebagai energi alternatif pada pabrik Gula Krebet, maupun energi listrik bagi warga Desa Krebet mengingat listrik konvensional yang digunakan pada saat ini masih bersumber dari fosil dan menghasilkan emisi gas CO2 (Amalia, 2021).
Teknologi Sugocy memiliki keunggulan dalam kemampuannya mengkonversi limbah yang sudah tidak terpakai dan dapat mencemari lingkungan yaitu limbah blotong dan limbah cair pabrik guna Krebet menjadi sumber energi baru terbarukan yang murah, lebih berkelanjutan serta ramah lingkungan hanya dengan mengintegrasi sistem bioeraktor sederhana, kontraktor membrane serta PEMFC (Amalia, 2021).
Keberhasilan transformasi limbah pabrik gula menjadi sumber energi baru terbarukan sangat bergantung pada dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi dan industri. Pemerintah perlu memberikan insentif dan regulasi yang mendukung penelitian serta pengembangan teknologi energi terbarukan. Sementara itu, akademisi dapat berkontribusi melalui penelitian untuk meningkatkan efisiensi proses konversi limbah menjadi energi.