Fathul Bari
Sebagai negara yang kaya dengan sumberdaya alam, Indonesia dikenal dengan potensi energi terbarukan. Diantaranya yang paling menarik yakni sumber panas bumi. Terdapat lebih dari 200 titik panas bumi yang dapat diidentifikasi, besarnya potensi energi geothermal mencapai 29.000 megawatt (MW). Selain itu panas bumi memiliki manfaat sebagai penghasil mineral yang mempunyai nilai tinggi seperti lithium rare earth elements (REE).
Seperti lapangan panas bumi yang terletak di daerah Dieng Provinsi Jawa Tengah memiliki kandungan Lithium sekitar 68 mg/L pada fluida panas buminya. Pusat Sumberdaya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP, 2019) kandungan lithium dari sumur panas bumi di Dieng mencapai 99 mg/L Beberapa lapangan panas bumi lain di Indonesia, lapangan Dieng memiliki kandungan lithium tertinggi. Kandungan lithium yang tinggi bersasosiasi tipe mata air klorida, seperti di Geurodong, Tampomas dan Subang. Selain itu system dengan reservoir batuan sedimen juga akan memiliki kandungan lithium yang tinggi seperti di Bittuang Tampomas (Kencana, 2021).
Direct Lithium Extraction atau DI.E. Pada dasarnya, teknik tersebut menggunakan system pertukaran ion yang bertindak sebagai saringan kimiawi untuk secara selektif hanya mengumpulkan lithium klorida. Lithium klorida kemudian dimurnikan dan dipekatkan untuk menghasilkan lithium hidroksida, yang kemudia digunakan untuk beterai. Selain berdampak ekonomis, produksi lithium dari fluida panas bumi juga dapat memberikan dorongan untuk pengembangan energi panas bumi, khususnya di Indonesia yang digadang-gadang memiliki 40% dari total panas bumi dunia (Kencana, 2021).
Potensi Geothermal Indonesia
Sumber daya panas bumi di Indonesia terutama terletak di daerah vulkanik, yang memberikan peluang besar untuk eksploitasi. Hingga saat ini, Indonesia telah memanfaatkan sekitar 2.500 MW dari potensi ini, namun masih banyak yang belum tergali. Energi panas bumi tidak hanya bersih dan berkelanjutan, tetapi juga dapat membantu mengurangi ketergantungan pada energi fosil, mendukung target penurunan emisi karbon, dan mendorong transisi menuju ekonomi hijau.
Lithium dan Rare Earth Elements
Lithium dan REE adalah dua komponen yang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri, terutama di bidang teknologi dan energi. Lithium, misalnya, merupakan bahan baku utama untuk baterai lithium-ion yang digunakan dalam kendaraan listrik, perangkat elektronik, dan sistem penyimpanan energi. Maka, dengan meningkatnya permintaan akan kendaraan listrik dan energi terbarukan, kebutuhan lithium semakin mendesak.
Sementara itu, REE, yang terdiri dari 17 elemen, seperti neodymium, europium dan dysprosium, memainkan peran penting dalam teknologi tinggi, termasuk pembuatan magnet permanen, layar LED, dan energi terbarukan. Permintaan untuk REE diperkirakan akan terus meningkat, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin bergantung pada elemen-elemen ini.
Lithium (Li) merupakan logam yang paling merupakan logam yang paling elektrogenatif dan memiliki konduktivitas listrik yang sangat baik. Lithium merupakan logam yang penting, karena Bersama dengan nikel (Ni) dan kobalt (Co) merupakan bahan utama baterai khususnya untuk kendaraan listrik. Pada awal 2019, pabrik baterai kendaraan listrik telah ada dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah. Sehingga sumber Ni, Co dan terutama Li perlu ditemukan di Indonesia. Indonesia yang terletak pada zona ring of fire memiliki potensi panas bumi yang besar yaitu sekitar 26 GW atau 40% dari total potensi panas bumi dunia (PSDMBP, 2017). Selain pemanfaatannya untuk Pembangunan Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) saat ini telah dibangkan sekitar 2.130 MW, fluida panas bumi juga mengandung lithium yang berpotensi untuk diekstraksi. Sebagai contoh meskipun bukan di Indonesia, fluida dari panas PLTP Bruschal, Jerman mengandung lithium sekitar 200 mg/L yang kemudian dapat diekstraksi hingga 70%nya. Kandungan lithium pada system panas bumi yang sudah dieksploitasi di Indonesia cukup tinggi, yaitu 70 mg/L. Sementara itu, pada lapangan yang belum dieksploitasi (greenfield), kandungan lithiumnya dapat mencapai 10-25 mg/L (Kencana, 2021).