Lihat ke Halaman Asli

Kenangan

Diperbarui: 28 Februari 2023   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, bias mentari dihujani kabut. Jalan-jalan basah, membumbuhi daun-daun yang kehausan seraya melambai meneteskan percikan-percikan gumpalan kabut. 

Mata serasa pekat dari saking kabutnya meski mesin pagi-pagi sudah mengantarkan pundakku ke singgah sana, rumah tua. Nafas mecoba menghela, mata terpanah ke arah gubuk tua,  terbesit aroma melati di gubuk yang didapati ayunan, pikiranku kacau seketika bah melihat Aisyah yang tak hilang begitu saja dari memory rasa, tali-tali ayunan itu belum kelihatan putus juga sekalipun berlumur lumut, sekalipun keliahatan berjamur, sekalipun kelihatan lepuh.

"Tuhan, mengapa waktu begitu sangat singkat, sementara penantian terus mengitari kenangan", Gumamku di depan gubuk tua itu. 

Cakrawala pagi mulai menumpahkan kehangatannya, bersandar di tubuhku yang kian senantiasa mengingat saat bersamanya, tak juga melepuh hingga kaki kaku melangkahkan keluar dari rumah tua itu. 

Kenangan tentangnya masih semerbak bersama melati di halaman rumahnya, Aisyah sudah pindah rumah sejak dia harus menerima lamaran orang lain. 

Buku oretan kian menua, berhambur di meja makannya. Foto-foto pun terpotong, gambarnya tak lagi kelihatan utuh. Lima bulan sudah berlalu, pos kecil yang kita buat bersama tak juga kudapati tulisannya. 

"Tuhan, jika saja harapan harus Aku hanyutkan di luasnya lautan maka izinkan kenanganku terhempas jauh dari nadi-nadiku yang kian rapuh", Mungkin ayunan tua itu sudah membuatku terdiam seribu kata, dan sebagian terurai dengan tetes air mata.

#bersambung




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline