Lihat ke Halaman Asli

Fathoni Arief

Rakyat biasa

Di Jakarta Banyak Kandang Merpati

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_190809" align="aligncenter" width="500" caption="Jakarta Menjelang Senja /doc.Fathoni Arief"][/caption]

Dulu sewaktu masih kecil dan belum pernah menginjakkan kaki di Jakarta yang selalu terbersit dalam benak saya tiap kali membayangkan adalah Monas, Taman Mini, Ancol dan Istana Presiden. Tentang Jakarta yang juga selalu saya bayangkan adalah adanya gedung-gedung tinggi menjulang dan jalan yang bertumpuk-tumpuk [Fly Over]. Maklumlah, saya lahir dan besar di kota kecil yang tak ada gedung tinggi menjulang dan jalanan pun paling top adalah jalan negara yang memanjang dengan aspal korea. Tak heranlah, jika datang dan melihat Jakarta menjadi mimpi bagi anak-anak kecil seperti saya.

Pengalaman pertama kali ke Jakarta menjadi sesuatu yang luar biasa bahkan terkadang masih menyisakan bingung dan keheranan. Saya masih teringat ucapan seorang saudara saya di kampung tentang Jakarta. (*)“Ndek Jakarta kok akeh pagupon yo?” katanya ketika naik kendaraan dan melihat kiri-kanan ada bangunan dengan banyak kotak-kotak jendela mirip kandang merpati. Kontan saja banyak yang tertawa mendengarnya.

Orang kampung tetaplah orang kampung. Meskipun sudah pernah menginjakkan kaki di Jakarta ternyata di kesempatan kali kedua kesana masih ada perasaan takjub. Wajarlah, saya pertama kali ke Jakarta selepas lulus SD dan kembali berkunjung sewaktu masa kuliah. Suatu waktu saya yang merupakan pengurus majalah kampus bersama beberapa orang ditugaskan menyebar surat proposal menjadi sponsor satu acara seminar di kampus. Wuih terbayang bagaimana rasanya saat itu harus masuk gedung-gedung berlantai belasan dan berada diantara orang-orang berdasi, benar-benar minder waktu itu. Sampai pernah ditolak mentah-mentah dan proposal langsung dikembalikan oleh salah satu alamat yang kami tuju. Jakarta memang bukanlah Jogja meski sama-sama ada “karta”nya. Hmm kedatangan saya keduapun masih menyisakan ketakjuban ketika meninggalkannya.

Kali ketiga datang ke Jakarta juga tak kalah “mengesankan”. Melihat Jakarta dalam benak saya waktu itu seperti menonton acara televisi. Di layar kaca sering diberitakan tentang berbagai tindak kekerasan di Jakarta mulai dari penjambretan, pencopetan, perampokan, penodongan dan seringkali terjadi di tempat umum seperti terminal, stasiun dan tempat ramai lain. Ah apalagi jika sendiri dan tak tahu jalan dalam bena saya yang ada waktu itu hanya kengerian. Ternyata saya akhirnya mengalami salah satunya. Waktu itu untuk pertama kalinya saya naik bis sendiri untuk balik ke Jogja. Seorang teman mengantar saya ke terminal kampung rambutan. Tiketpun saya dapatkan dengan harga wajar dan bebas calo ternyata kali ini bukanlah calo sebagai biang keladinya, namun preman. Saya kena kompas dari preman, pengalaman yang menjengkelkan, memalukan. Tapi jika melihat kebelakang waktu itu memang wajar jika saya kena kompas preman. Dengan busana yang kampungan banget dan seperti orang bingung saya pun menjadi makanan empuk preman. Apalagi waktu itu masih kerempeng.

Itulah alasan saya sempat enggan kembali lagi ke kota ini. Meskipun jalan hidup berkata lain. Sekarang tak ada lagi kesan wah atau takjub seperti dulu. Keluar masuk gedung megahpun bukan menjadi sesuatu yang membuat minder begitu pula bertemu orang-orang berdasi. Jika dulu takut keluar sendiri sekarang dah keluar masuk hingga pelosok Jakarta baik naik motor ataupun kendaraan umum dan sendiri dan beberapa kali melihat bagaimana orang dijambret, dicopet. Namun namanya sedang mencari sesuap nasi semua itu tak lagi ditakuti meskipun kewaspadaan dan kehati-hatian harus selalu ada. Sekarang sebagai orang kampung saya bisa bilang jika ingin mencari tempat penggemblengan mental, kesabaran datang saja ke Jakarta tapi jika sudah mendapat bekal cukup segera saja kembali saja ke kampung tak usahlah menambah kepadatan ibukota.

Fathoni Arief

(*)”Ndek Jakarta kok akeh pagupon yo?” : Di Jakarta kok banyak kandang merpati ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline