Lihat ke Halaman Asli

Fathoni Arief

Rakyat biasa

Lelaki, Ombak, dan Sawarna

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_152334" align="aligncenter" width="400" caption="doc.Firdaus Sudarma"][/caption] Setiap melihat foto “Dikejar ombak” karya Firdaus Sudarma selalu saja saya tersenyum. Sebuah foto yang menggambarkan seorang lelaki yang berlari kencang beradu cepat dengan ombak yang menerjang. Tersenyum untuk mengenang peristiwa lucu dibalik lahirnya karya tersebut sekaligus bersyukur terhindar dari maut yang nyaris merenggut nyawa.

Waktu sudah bergeser dari senja. Warna kemerah-merahan yang sempat mewarnai langit kini mulai menghilang terhapus kelam. Di sebuah warung di pinggir pantai Karangtaraje seorang lelaki berusia 30an tahun sudah menanti kami ( saya, Firdaus Sudarma (Opi), Mohamad Iqbal (Iqbal)). Lelaki itu akrab disapa Kombet. Bersama Kombet nampak dua orang lelaki usianya lebih tua. Satu diantaranya berbicara dengan logat Jawa.

Kombet menyapa kami bertiga, menanyakan kepastian apakah kami jadi memakai jasa ojeknya. Jika jadi Kombet bakal memanggil dua orang rekannya lagi. Kamipun memutuskan iya. Malam ini kami langsung menuju desa Sawarna dan beristirahat di sana.

Sambil menunggu Kombet kami berbincang-bincang dengan lelaki berlogat Jawa. Sambil merapikan barang bawaan kami yang sempat kami titipkan di warung. Lelaki itu banyak bercerita mengenai Sawarna dan mewanti-wati kami agar tidak tidur di tenda. Kabarnya beberapa hari sebelumnya sempat ada kabar muncul buaya.

Tak berapa lama Kombet datang namun hanya membawa seorang rekan. Ia menawarkan kami bagaimana jika ada yang satu motor bertiga. Kami menolak dan meminta tambah orang satu lagi saja. Jika memang tidak ada kami memberi solusi bagaimana jika salah seorang tukang ojek bolak-balik saja. Namun usul ini ditolak. Mereka tak berani jika harus bolak-balik alasannya takut bertemu dengan harimau entah beneran atau jadi-jadian.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya datang lagi seorang rekan kombet. Kini kami bisa berangkat menuju Sawarna. Formasipun diatur, yang berbadan besar dan barang bawaan banyak naik motor yang dianggap lebih kuat. Setelah semuanya siap motorpun melaju dengan kecepatan tinggi. Tukang-tukang ojek tersebut membawa kami menembus kegelapan malam di jalanan menuju Sawarna.

Sepanjang perjalanan yang kami lalui adalah kegelapan. Di awal perjalanan kondisi jalan relatif bagus. Namun di pertengahan kondisi jalan jelek. Kami harus melewati hutan dengan jalan yang masih dalam perbaikan. Jalanan tersebut masih berupa tanah keras dan bebatuan. Meski dengan kondisi jalan buruk tukang ojek sekan tak peduli dan terus tarik gas. Sampai-sampai motor yang membawa saya sempat terperosok dan membuat saya harus turun dan berjalan kaki mengingat kondisi jalan yang lumayan parah.

Setelah melewati hutan dan kegelapan malam akhirnya kami sampai juga di kediaman pak Hubaya (kepala desa yang lama). Kami langsung mengetuk pintu dan anak pak hubaya sudah menyambut dan mempersilahkan kami masuk. Rumah ini memang sering menjadi pos peristirahatan para pelancong dari luar daerah.

Lelah, penat setelah seharian menempuh perjalanan mulai dari Pelabuhan Ratu membuat kami sudah terbayang-bayang tempat istirahat untuk mengembalikan kondisi fisik. Bu hubaya mengantar kami menuju sebuah kamar dengan kasur-kasur yang ditata dibawah. Untung saja masih ada tempat kosong. Setelah mandi, bersih-bersih, dan sejenak istirahat kami makan malam di tempat pak Hubaya. Indah sekali malam itu. Makan dengan penerangan lampu yang tak begitu terang bisa melihat malam tentunya dengan sepaket bintang dan rembulan, serta hembusan angin malam. Satu komposisi yang sempurna. Lengkap sudah kenikmatan malam itu.

Selesai makan berbincang-bincang dengan pak Hubaya(*). Lelaki tua ini banyak bercerita tentang pembuatan gitar dan biola. Ternyata pak Hubaya ini juga seorang maestro pembuat gitar. Mantan penerima Upakarti di era Suharto ini bahkan sudah sering melayani berbagai pesanan baik dari dalam maupun luar. Ada banyak pengetahuan yang kami dapat waktu itu. Beragam hal baru mulai dari proses pembuatan gitar, bahan apa yang paling bagus dan hal-hal lain yang kurang saya mengerti maklum saya tak bisa memainkan alat musik ini. Begitulah sosok pak hubaya, yang selama ini hanya saya baca di sebuah artikel di internet. Selain cerita tentang gitar ada satu hal yang terjawab sudah mengenai keberadaan desa di pelosok namun termasuk maju. Ia cerita banyak hal bagaimana dia memimpin desa ini selama bertahun-tahun.

[caption id="attachment_152339" align="alignright" width="225" caption="Alm Pak Hubaya/doc.Fathoni Arief"][/caption] Penat, lelah, pegal-pegal akhirnya terbayar oleh tidur semalam di rumah pak Hubaya. Pagi benar kami bangun dan merasakan sejuknya pagi hari di desa Sawarna. Dari lantai dua tempat kami menginap bisa kami lihat burung seriti beterbangan di atas persawahan. Ini Sawarna bukan Jakarta, tak ada asap knalpot tak ada kemacetan dan suara klakson.

Sosok pak Hubaya memang low profile dan tak canggung bergaul dengan mereka yang lebih muda. Belum sempat kami mandi mantan kepala desa Sawarna ini bahkan yang mendatangi kami dan ikut nimbrung ngobrol sana-sini. Ada banyak topik yang kami bicarakan diantaranya tentang pendatang di desa Sawarna. banyak diantara mereka yang berasal dari suku Jawa. Ia juga bercerita  pengalamannya ketika berkunjung ke Jogja di daerah bantul bertemu dengan orang-orang asli pelabuhan ratu yang rindu akan kampung halamannya.

Selepas mandi dan bersiap dengan peralatan, sarapan ternyata sudah disiapkan oleh bu Hubaya. Kami langsung sarapan dan menuju ke pantai mencari obyek-obyek menarik. Selain itu rencananya akan mengambil gambar bule selancar. Di pondok pak Hubaya kami berkenalan dengan 2 orang bule mereka adalah Chris dan marty orang Bulgaria yang hobi selancar.

Masakan bu Hubaya ternyata nikmat juga. Sarapan pagi menu kami Ayam dengan parutan kelapa istilahnya kalau di tempat saya srondeng. Waktu kami sedang enak-enaknya makan lewatlah Marty dan berkata dengan Inggris yang tak begitu jelas..”ooo Chicken With coconut baguus baguss...”. Kami hanya tersenyum-senyum saja mendengarnya. Nampaknya si bule ngefans banget masakan bu Hubaya yang satu ini.

Dengan perut kenyang, badan yang sudah segar kembali akhirnya kami berjalan menuju pantai yang berjarak sekira 1 km dari rumah pak hubaya. Ombak, langit cerah, laut biru, hamparan pasir putih, sepaket keindahan alam yang menyambut kedatangan kami di pantai Ciantir, Sawarna. Rasanya perjalanan melelahkan dengan berbagai halangan terbayar sudah.

[caption id="attachment_152338" align="aligncenter" width="400" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Pantai Ciantir memang tak seperti pantai di Pelabuhan ratu, suasananya masih sepi dan nampak alami. Kondisi tersebut sangt pas buat menenangkan diri dan bersantai. Saya begitu menikmati, melihat keindahan sulit mencari kosakata yang pas untuk menggambarkannya. Mengabadikan dalam bentuk foto saya juga kesulitan, terlalu banyak hal indah untuk diambil.

Pantai Ciantir di Sawarna bagi saya rasanya agak beda dari pantai di daerah lain yang pernah saya kunjungi. Ketika pertama kali kaki masuk ke dalam genangan air rasanya dingin dan membuat saya tergoda untuk bermain air, basah-basahan. Namun rencana itu tak tercapai melihat saya membawa handycam dan kamera digital.

[caption id="attachment_152337" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Kami menyusuri bibir pantai. Tentu saja menuju lokasi yang menjadi trade mark pantai ini, Karang layar. Disebut demikian karena memang bentuknya menyerupai layar. Disitulah lokasi tempat berkumpulnya burung-burung. Tak jauh dari karang layar nampak barisan karang yang dengan berirama diterjang oleh ombak. Gulungan ombak bertubi-tubi dan berirama membuat Saya dan Opi tergoda melihat kdari dekat. Saya mendekat dan nyaris hanya berjarak beberapa meter saja sementara Opi mengambil posisi yang agak menjauh. Saya tak merasa was-was karena dari pengamatan maksimal tinggi ombak hanya setinggi karang.

Di tengah keasyikan saya dan Opi satu hal yang tak terduga terjadi. Sebuah ombak besar tiba-tiba datang. Saya sempat gugup dan pucat tak bisa apa-apa hanya diam menunggu kesempatan lari. Ketika ombak pertama agak mengecil dan datang ombak yang lebih besar serta ada kesempatan saya lari sekencang mungkin.

[caption id="attachment_152545" align="aligncenter" width="500" caption="doc.Firdaus Sudarma"][/caption]

Ternyata hal sama juga dilakukan Opi. Meski posisinya jauh ia lari tunggang langgang. Ketika lari posisi kamera Opi dalam keadaan On dan masih sempat mengambil adegan ketika saya lari. Saat sudah berada di tempat yang aman kami tertawa namun sekaligus bersyukur. Ternyata ada beberapa foto yang cukup bagus dan serial menggambarkan posisi saya mulai dari diam, bingung hingga berlalri. Satu pengalaman luar biasa dan kami hanya tertawa-tawa saja. Sambil tertawa-tawa mengingat peristiwa yang baru kami alami, kami istirahat di pinggir pantai.

[caption id="attachment_152336" align="aligncenter" width="400" caption="doc.Firdaus Sudarma"][/caption]

Hasil karya Opi tentang lelaki yang dikejar ombak tersebut sempat menjadi juara kedua lomba foto jejak petualang dan masuk majalah NG Indonesia edisi khusus Foto. Menanggapi karya Opi, Iqbal melontarkan leluconya. “ Di Sawarna saya dikejar ombak bisa meraih juara dua nanti suatu saat Iqbal mengajak saya berkunjung ke Ujung Kulon siapa tahu saya dikejar badak dan bisa menjadi juara satu hasil fotonya,”.

Catatan Agustus 2008

Fathoni Arief

*)Tahun lalu jelang bulan puasa Pak Hubaya telah berpulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline