Lihat ke Halaman Asli

Fathoni Arief

Rakyat biasa

Darah Jawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_125904" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Foto : www.rnw.nl"][/caption] Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya terasa begitu panas siang ini. Sebuah tempat di negeri ini di mana untuk pertama kalinya aku menjejakkan langkahku, setelah sekian lama menghabiskan waktu dalam sebuah perjalanan yang sangat melelahkan. Perjalanan dari sebuah negara kecil di benua Amerika: Suriname, tempatku dilahirkan dan dibesarkan.

Saat ini adalah hari pertama aku menjejakkan kaki di sini di sebuah kota yang mungkin usianya lebih tua dari kota kelahiranku Paramaribo, kota terbesar di Suriname yang dihuni hampir sebagian besar penduduk negara tersebut. Terdapat persamaan di antara dua kota tersebut. Surabaya dan Paramaribo merupakan kota-kota tua yang banyak menyisakan bangunan-bangunan peninggalan pemerintah kolonial.

Pelabuhan terbesar di Indonesia bagian Timur ini cukup ramai dipenuhi oleh para penumpang. Suasana hiruk pikuk para penumpang yang berlalu lalang dan mondar-mandirnya kuli angkut yang membawa dan menawarkan jasanya sempat membingungkan aku. Maklum baru pertama kali aku datang ke sini, sebuah negeri yang jauh yang katanya adalah asal dari nenek moyangku. Hampir semua orang yang ada di sini mempunyai ciri-ciri yang mirip denganku. Kulit sawo matang, rambut hitam dan tinggi rata-rata orang Asia.

Dari pembicaraan kuli-kuli yang ada di sini menggunakan bahasa yang mirip dengan yang dipakai oleh leluhurku di sana: Suriname. Aku semakin yakin dengan cerita-cerita yang diberikan di tanah Jawalah tempat nenek moyangku berasal.

Ketika aku berjalan di sepanjang kota Surabaya ini, di beberapa sudut kota masih bisa kujumpai bangunan-bangunan yang modelnya mirip dengan yang ada di negaraku. Melihat bangunan seperti itu aku jadi teringat dengan kota kelahiranku: Paramaribo. Bangunan seperti itu di negara asalku adalah bekas peninggalan pemerintah kolonial Belanda mungkin saja yang ada di sini juga sama soalnya dari cerita-cerita yang sering kudengar negeri ini dalam rentang waktu yang lama sempat dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dari cerita yang pernah kuterima dari kakek, nenek, dan kedua orang tuaku di sini, tanah Jawa, dulunya leluhurku berasal. Aku masih ingat tiap kali kakek atau nenek menyebut-nyebut tentang tanah asalnya ia selalu meneteskan air mata, kukira itu tanda kerinduan yang belum bisa dipenuhi. Mereka berdua keburu meninggal sebelum sempat mewujudkan cita-citanya untuk melihat kembali tanah kelahirannya.

Kata kakek dulunya lahir di Surabaya sedangkan nenek sendiri adalah orang dari Tulungagung sebuah kota yang kira-kira bisa ditempuh dalam tiga jam perjalanan dari kota pelabuhan ini. Surabaya menurut cerita kakek tidaklah seperti ini kukira sekarang kota ini telah menjadi kota Metropolis yang terus berkembang pesat.

Kakek dan Nenekku merupakan orang Jawa asli, Oost Java. Sekitar tahun 1930an saat itu beliau masih begitu muda kira-kira masih menginjak dua puluh tahun. Kakek bersama dengan ratusan orang lainnya lewat Badragumilang (program bedhol desa ke Suriname) diangkut dengan kapal laut menyeberang ke sebuah negara yang sangat jauh. Mereka dibawa mernyeberangi Samudera Pasifik, ke sebuah tempat baru di daerah benua Amerika yang bernama Suriname.

Dengan bekal janji-janji dan harapan akan perubahan nasib selepas selesainya kontrak mereka rela pergi jauh meninggalkan tanah kelahirannya. Sebagian besar dari mereka dibawa ke daerah-daerah perkebunan, pabrik dan industri lain di negara yang juga dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda itu.

Janji tinggallah janji. Harapan besar yang mereka punyai sirna. Apa yang dulu dipegang dan berhasil membujuk mereka tak sesuai dengan yang diharapkan. Kakekku ternyata dan rekan-rekan lainnya ternyata dijadikan pekerja kasar dengan upah yang begitu murah.

Setelah kontrak selesai impian kakek dan para pekerja lainnya untuk mengubah hidup sirna. Kecewa, menyesal, dan yang paling menyiksa adalah perasaan malu baik terhadap sanak kerabat ataupun pada tetangga. Perasaan itulah yang membuat kakek dan orang-orang lain yang ikut dalam Badragumilang enggan untuk kembali ke tanah Jawa dan memilih untuk menetap.

Selain karena jarangnya kapal yang berlayar ke tanah Jawa dan mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan. Menetap dan tinggal di negeri Suriname akhirnya menjadi pilihan bagi mereka. Di antara mereka akhirnya ada yang menikah dan hidup berkeluarga. Mereka merupakan cikal bakal generasi Jawa di bumi Suriname.

Aku sendiri merupakan generasi ketiga dari pendatang dari Jawadwipa. Aku sangatlah bangga menjadi seorang Jawa asli Suriname. Kini setelah hampir satu abad di antara kami mulai menempati posisi penting di pemerintahan negara Suriname. Jabatan setingkat menteri pernah dipegang oleh seorang putra Jawa. Bahkan di antara pejabat tinggi negeri ini ada yang beberapa waktu lalu mengadakan kunjungan di Indonesia.

Dari kejauhan bisa kulihat kapal-kapal besar yang mulai meninggalkan pelabuhan. Melihat hal itu mengingatkanku pada cerita-cerita kakek, bagaimana hampir satu abad yang lalu beliau bersama ratusan orang lainnya dengan menggunakan kapal dibawa pergi meninggalkan tanah kelahiran untuk selama-lamanya.

Sebuah peristiwa bersejarah yang sangat memilukan tentunya. Wasiat terakhir dari kakek yang beliau sampaikan padaku adalah mencari kabar tentang saudara dan keluarganya. Pesan itu pula yang diulangi diberikan kedua orang tuaku sebelum keduanya meninggal beberapa tahun lalu. Beban berat yang baru kali ini bisa kulaksanakan. Hanya berbekal selembar surat dan alamat yang mungkin sudah tak bisa dijumpai saat ini.

Stasiun Wonokromo, Kertosono, Surabaya dan Tulungagung nama tempat yang sering disebutkan oleh kakek yang mungkin bisa kugunakan sebagai petunjuk. Selain tempat-tempat itu kakekku sering menyebut-nyebut nama Sunarti adiknya yang saat ditinggalkan masih berusia dua tahunan. Hanya itu petunjuk yang bisa kugunakan tak ada foto atau alamat yang jelas. Sulit memang untuk melacaknya selain itu aku juga tak tahu apa Sunarti adik kecilnya itu masih hidup atau sudah meninggal.

*****

Sepanjang daerah sekitar stasiun lama ini mulai kususuri. Mungkin saja dulu kakekku tinggal di daerah ini. Saat pertama datang di Suriname kira-kira tahun 1930an yang merupakan gelombang akhir pengiriman tenaga kerja ke sana. Berarti jika masih hidup Sunarti adik kakekku saat ini berusia tujuh puluh tahunan.

Sejauh yang kurasakan hingga saat ini memang sulit untuk melacak jejak saudara dari kakekku. Seorang pendatang yang begitu asing dan harus mencari sesuatu yang belum pasti ada keberadaannya. Hal itulah yang kini tengah aku alami.

Saat ini merupakan hari ketiga semenjak kedatanganku dari bumi Suriname. Dua hari lalu waktuku telah terbuang begitu saja tanpa hasil yang memuaskan. Saat inipun aku juga tak tahu apakah akan mendapatkan informasi yang berharga. Yang kulakukan hanyalah berjalan dan mencari tahu. Daerah sekitar stasiun Wonokromo masih kususuri sebagai target utama.

"Nasi pecel … nasi pecel … nasi.. nasi, masih hangat mas!" Seorang penjual makanan datang menghampiriku. Makanan apa ini terus terang aku belum tahu seperti apa isinya. Apakah ini seperti yang ada di daerahku? Pertanyaan yang akhirnya memaksaku untuk mencoba membeli dari nenek-nenek tua itu.

"Satu mbok!" Kataku dalam bahasa Jawa khas Suriname. Meskipun agak beda tapi kuyakin ia mengerti apa yang kumaksudkan.

Nenek-nenek penjual makanan itu segera mengambil satu bungkus makanan yang ia tawarkan. Dari bakul yang ia bawa terlihat dagangannya tinggal menyisakan beberapa saja. Setelah menerima makanan itu segera kuserahkan beberapa lembar uang ribuan rupiah; mata uang resmi di negara ini.

Perutku yang sudah terasa lapar membuat secepat kilat aku membuka bungkusan itu dan menyantapnya. Ternyata ini adalah nasi Pecil begitu orang di tempatku menyebutnya. Benar meskipun jauh mereka semua seperti saudara bagiku. Benar-benar mirip dengan yang ada di kampung halamanku.

"Anak bukan asli sini ya?" Nenek-nenek tua itu bertanya padaku dengan dialek yang sangat halus.

Bahasa yang bisa kutangkap walaupun hanya sedikit-sedikit. "Ya Mbok, saya datang dari negeri yang sangat jauh dari sini. Tiga hari lalu saya tiba dari Negeri yang bernama Suriname". Jawabku meski dengan bahasa Jawa Suriname.

"Pantas saja, meski anak mirip orang Jawa tapi bahasa yang digunakan sedikit aneh. Bahasa seperti yang anak gunakan itu mirip bahasa Jawa ngoko". Imbuh wanita tua penjual nasi itu.

"Ya mbok saya pernah dengar katanya bahasa yang saya gunakan ini bahasanya para kuli".

"Berarti anak tidak bisa bahasa Indonesia atau Melayu?" Nenek itu bertanya dengan bahasa yang agak beda.

"Apa nek?" Tanyaku kembali soalnya aku tak begitu jelas dengan yang ia katakan. Ia segera menjelaskan kembali jawabannya dengan bahasa Jawa lagi.

"Saya tidak menguasainya nek. Di negeri saya ada dua bahasa yang sering kami gunakan yaitu bahasa Belanda dan Jawa. Aku ingat ketika bertemu dengan seorang pegawai kedubes indonesia dia cerita tentang bahasa resmi yang dimiliki oleh Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

"Sudah lama jualan di sini nek?" Tanyaku pada nenek penjual nasi itu. "Wah sangat lama nak. Bahkan sejak anak belum lahir saya sudah jualan di sini". Jawabannya memberikan sedikit harapan buatku untuk mengorek keterangan tentang saudara kakekku.

"Kira-kira berapa tahun?" "Ya sejak nenek masih gadis. Saat itu umur nenek masih belasan tahun". Kulihat dari matanya ia seakan bernostalgia dengan masa lalunya.

Pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan mungkin saja telah membangunkan kenangan lamanya. Nenek penjual nasi yang akhirnya kuketahui bernama Minem itupun terus bercerita. Mulai dari awal mula ia berjualan nasi hingga semua kisah hidupnya. Dari apa yang ia ceritakan ternyata ia tak mengenal dengan kakekku dan ketika kutanya tentang nama Sunarti menurut ceritanya ia telah hilang menjadi saat negeri ini dikuasai oleh Jepang. Hingga sekarang kabar tentang Sunarti tak diketahuinya.

Begitulah akhir dari pencarianku. Dengan usaha yang keras seorang yang kuharapkan bisa menjadi kunci penunjuk keberadaan keluarga kakekku telah hilang. Seperti yang diceritakan mbok Minem tak ada lagi keluarga dari Sunarti yang tersisa. Berarti keluarga dari kakekku kemungkinan besar juga telah hilang semua.

Aku termenung merasa bersalah, tak bisa memenuhi harapan kakek dan kedua orang tuaku. Sesuai dengan jadwalku dua hari lagi aku harus kembali ke Suriname. Aku harus segera mengurus studi lanjutku ke negeri Belanda. Kemungkinan besar aku akan bermigrasi ke negeri itu menyusul jejak saudara-saudaraku yang lain. Bibiku saat ini tinggal di kota Amsterdam, untuk sementara nantinya aku mungkin akan tinggal di sana.

Menghabiskan waktu sebelum kembali kusempatkan untuk berjalan-jalan dan melihat suasana kota. Ada satu yang ingin kucari sebuah literatur tentang sejarah orang Jawa. Di sebuah toko buku besar di kota ini, kucoba mencari literatur itu.

Di salah satu sudut di bagian toko ini kucoba mencari buku itu. Dari buku-buku yang ada ternyata tak kudapatkan hal itu. Aku terus mencari rak demi rak memang sebagian besar buku yang ada menggunakan bahasa Indonesia.

Saat aku tengah asyik mencari di dekatku kulihat seorang wanita yang kira-kira seumuran denganku. Wajahnya cukup manis, kulihat ia sedang membaca. Ah ternyata buku yang ia cari seperti yang kumaksud. Sejarah tentang Jawa Suriname. Sebuah buku dalam bahasa Inggris. Spontan saja dengan Jawa Surinameku aku segera menyapanya.

"Lagi belajar tentang Suriname?" Dia sedikit kaget lalu menoleh ke arahku lalu memperhatikanku. Dia membalas sapaanku dengan bahasa Jawa campur Indonesia yang bisa kutangkap walaupun hanya sebagian.

"Ya mas, kebetulan saya kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra Nusantara. Saat ini sedang membuat penelitian tentang Jawa Suriname. Mas orang mana kok bahasa yang digunakan agak aneh?".

"Saya asli Suriname. Sudah beberapa hari ini mengadakan kunjungan di negara ini". Bermula dari itu kita terus bercerita satu sama lain. Panjang lebar aku ceritakan tentang Suriname dia kelihatannya sangatlah tertarik. Dari yang ia ceritakan saudara dari kakeknya ternyata juga termasuk bagian dari orang-orang Jawa yang berada di Suriname.

Keinginan yang mendalam untuk mencari leluhur membuat ia begitu tertarik menulis skripsi tentang Jawa Suriname. Satu hal yang sama ia rencananya akan melanjutkan jenjang studi S2nya di negeri Belanda. Kedatanganku di Indonesia tak sia-sia. Begitulah takdir berkata. Aku kehilangan saudara dari kakekku tapi aku mendapat kenalan baru yang mungkin saja bisa menjadi lebih dari saudara. Dara namanya, mahasiswi Universitas Negeri Surabaya.

Selepas dari toko buku itu aku diajak oleh mahasiswi cantik ke rumahnya di daerah Mojokerto. Dia memperkenalkanku dengan sanak kerabatnya. Di antara sanak kerabatnya terdapat sang kakek yang masih hidup yang dulu menjadi saksi ketika salah seorang saudaranya dibawa oleh kapal laut dari pelabuhan tanjung Perak ke Suriname. Sang kakek selalu berkaca-kaca tiap kali menceritakan peristiwa itu padaku. Kehilangan saudara  tercinta merupakan hal yang sangat memilukan baginya.

*****

Saat ini sudah hampir dua puluh lima tahun semenjak kedatanganku ke Indonesia. Aku sudah menjadi warga negara Belanda dan karena ingin melestarikan budaya Jawa aku mengabdikan diriku menjadi pengajar di sebuah Universitas negeri ini tentang budaya bangsa-bangsa khususnya Jawa. Saudara kakekku boleh hilang tetapi kedeketanku dengan tanah Jawa tak akan berkurang. Hubunganku dengan Dara ternyata berlanjut ketika kami sama-sama kuliah di Belanda. Akhirnya kami terus berlanjut hingga ke jenjang pernikahan. Dari pernikahan ini kami dikaruniai dua orang anak. Anak yang pertama kini telah menjadi mahasiswa tingkat akhir di sebuah Universitas di Pulau Jawa. Cita-citanya yang pernah ia sampaikan adalah menjadi warga negara Indonesia dan mempunyai istri orang Jawa seperti bapaknya.

Anakku yang kedua lebih memilih tinggal di Suriname ikut dengan keluargaku yang ada di sana. Cita-citanya ingin menjadi presiden Jawa pertama di sana. Sedangkan istriku sendiri kini bekerja di kedutaan besar Indonesia di Belanda. Meskipun kami berbeda beda tempat dengan kebebasan yang kuterapkan ada satu kesamaan di antara kami. Walaupun hidup di Belanda, Suriname atau Indonesia kami tak bisa mengingkari jati diri kami sebagai putra Jawa. Sebuah persamaan yang menyatukan di antara perbedaan yang ada.

Fathoni Arief

Jogja, 27-02-2006

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline