Bromo itu katanya memiliki pemandangan yang indah. Menikmati saat-saat matahari terbit di Bromo itu katanya sangat menarik. Di sana untuk menuju ke puncak katanya harus melewati padang pasir yang cukup luas. Namun katanya segala capek, lelah bakal terbayar ketika sudah sampai puncak. Dan selama bertahun-tahun masih ada rentetan “katanya” yang menjejali fikiran saya ketika nama Gunung Bromo disebut. Hingga kesempatan itu tiba..
Jelang siang hari di awal tahun 2010 saya memulai perjalanan saya menuju Bromo. Saya tidak sendirian. Ada 3 orang rekan lain yang hendak menghabiskan liburan awal tahun di sana. Namun karena lokasi tempat tinggal yang berbeda kami menetukan titik poin dimana bakal bertemu. Meskipun sebenarnya satu arah. Saya memulai perjalanan dari kota Tulungagung sedangkan ketiga orang rekan memulai perjalanan dari Yogyakarta. Titik pertemuan yang kami sepakati adalah pertigaan Brakan di daerah Kertosono. Di sinilah pertemuan jalur dari Selatan dan Barat.
Ini adalah perjalanan pertama saya ke Bromo. Mengingat keterbatasan informasi dan khususnya waktu maka kami memutuskan memakai jasa agen wisata perjalanan. Meskipun sebenarnya ada untung ruginya menggunakan jasa ini. 3 orang rekan saya mulai berangkat dari Yogyakarta pukul 8 pagi. Jika tak ada halangan yang berarti pukul 2 siang sudah tiba di Kertosono. Dari perhitungan itu saya memutuskan berangkat pada tengah hari sehingga sebelum pukul 2 siang sudah tiba di titik pertemuan.
Sebuah bus antar kota dalam provinsi jurusan Surabaya mengantar perjalanan saya. Dalam kondisi normal perjalanan dari Tulungagung menuju Kertosono memakan waktu kurang dari 2 jam. Bis melaju melewati jalan dalam kota dan berbelok ke arah Utara menuju kota Kediri. Ketika sudah masuk jalanan inilah bus biasanya melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Melewati Rumah Sakit Lama yang sekarang menjadi kantor Dinas Kesehatan Tulungagung, Rumah Tahanan, Stadion Rejoagung, dan terus melaju melewati jembatan *Ngujang. (* Ngujang merupakan lokasi yang cukup familiar bagi warga Tulungagung dan sekitarnya. Ada banyak hal yang terkait dengan tempat ini mulai dari kuburan cina, lokalisasi kelas teri hingga keberadaan kawanan monyet yang konon katanya jadi-jadian. Di tempat inilah terkadang ada masyarakat yang melakukan ritual-ritual berharap kemakmuran atau kejayaan dengan cara instan).
Bus terus melaju melewati rute kecamatan Ngantru, Kecamatan Kras, Kecamatan Ngadiluwih hingga memasuki terminal kota Kediri. Di jalan raya menuju terminal ini di sebelah kanan sebelum jembatan tepatnya di perempatan alun-alun Kota tahu ini bisa kita jumpai masjid Agung Kediri. Mengenai masjid ada fakta yang menarik di kota ini. Kebanyakan masjid-masjid di sini memiliki menara yang menjulang tinggi. Bus tak lama singgah di terminal dan langsung melanjutkan perjalanan menuju Surabaya.
Perjalanan dari terminal Kediri menuju Kertosono tak butuh waktu banyak. Sekira setengah jam ternyata saya sudah tiba di Kertosono. Total waktu perjalanan saya tak lebih dari satu setengah jam. Berarti saya datang jauh lebih cepat dari prediksi. Hingga sayapun memanfaatkan waktu untuk istirahat dan menjalankan Sholat.
Di sebuah warung di pinggir jalan saya menikmati secangkir kopi panas dan tape goreng. Hari terasa cukup panas meskipun awan hitam mulai menyelimuti. Tentu saja saya berharap meski sore hari cuaca buruk esok pagi cuaca cerah. Sehingga saya bisa mendapatkan foto-foto yang menarik.
Menunggu itu memang membosankan. Ternyata travel yang membawa ketiga orang rekan saya belum datang juga. Sayapun melepas kebosanan berteduh di pinggir mushola sambil berbincang dengan seorang penjual bakso. Ternyata ada banyak hal yang saya dapatkan. (Baca : Kisah Tentang Saya dan Mereka ).
Tak terasa waktu terus berjalan dan kendaraan yang membawa ketiga rekan saya tiba. Ternyata selain 3 orang rekan saya ada 3 orang lagi. Mereka ada seorang ibu muda dengan kedua putrinya. Kamipun melanjutkan perjalanan meski kendaraan sempat berhenti. Kami harus naik mobil lainnya.
Sore perlahan mulai berganti malam. Kendaraan terus melaju diantara jalanan yang diguyur hujan. Kami melintasi Jombang, Mojokerto, Pasuruan hingga nantinya menuju Probolinggo. Ketika kendaraan membelah kota Jombang di kanan kiri sepanjang jalan nampak bendera merah putih dipasang setengah tiang. Dua hari lalu jelang tahun baru seorang putra bangsa terbaik yang pernah dilahirkan di Jombang berpulang.
Kendaraan terus melaju melawati jalanan menuju Probolinggo hingga di sebuah agen wisata kendaraan inipun berhenti. Kami turun untuk dicek tiket kami dan menerima brifing singkat mengenai sunrise tour esok hari. Kami diberi arahan tentang suhu lokasi, lama perjalanan dan dimana kami akan menginap.
Setelah semua pembekalan selesai kami melanjutkan perjalanan. Kali ini mobil yang digunakan berbeda. Medan yang kami lalui nampaknya juga berbeda. Jalanan kini mulai menanjak. Sekira butuh perjalanan sejam menuju villa dimana kami bakal menginap. Di sepanjang perjalanan saya banyak berbincang dengan sopir yang membawa kami. Ternyata mereka juga menawarkan tour ke kawah Ijen sekira 6 jam perjalanan lagi.
Akhirnya kami tiba di villa tempat kami menginap. Menurut brifing yang kami terima tadi besok pagi-pagi kira-kira jam setengah 3 kami bakal dibangunkan. Dengan kendaraan jeep menuju tempat dimana bisa melihat sunrise. Di depan tempat menginap sudah berjajar para penjual pernik-pernik. Mereka menjual tutup kepala dan sarung tangan. Ada juga yang menawarkan jaketnya untuk disewakan. Meskipun waktu belum begitu larut saya dan rombongan memutuskan untuk istirahat lebih awal. Kami ingin besok pagi bisa fresh untuk menikmati liburan ini.
Pagi-pagi buta petugas yang bakal mengantar kami sudah mengetuk pintu demi pintu. Kamipun segera menyiapkan barang-barang dan perlangkapan. Kamera dan segala perlengkapanpun tak ketinggalan sudah saya masukan. Kami bertujuh naik dalam satu mobil jeep. Pagi-pagi buta kami menuju gunung penanjakan. Hari itu cukup banyak pengunjung di tempat wisata ini. Itu bisa dilihat dari mobil yang beriringan seperti ular. Kamipun tidak bisa sampai ke atas. DI tempat parkir terdekat mobil harus berhenti dan perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek meskipun ternyata tidak begitu jauh.
Setelah naik ojek kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak gunung penanjakan. Hawa dingin yang cukup menyengat sudah menyambut kami. Ternyata diatas sudah terdapat banyak orang yang berbondong-bondong menunggu saat matahari terbit. Sayapun mencari lokasi yang paling strategis dimana bisa mendapatkan gambar yang bagus.
Setelah menerobos diantara kerumunan saya mendapatkan posisi yang cukup enak. Saya menuruni lereng dan berdiri di tempat yang terbuka di dekat sebuah tenda yang didirikan oleh rombongan pecinta alam. Yah memang benar kata orang dari sini saya bisa melihat Bromo yang diselimuti asap. Dari sini saya bisa melihat matahari yang perlahan tampakkan diri. Warna kuning mengumpul dari bulatan kecil makin lama makin membesar. Saya begitu menikmati lokasi pertama dari tour Bromo ini.
What A Wonderful World
~Louis Amstrong~
Bersambung
Bromo, 1 Januari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H