Lihat ke Halaman Asli

Fathoni Arief

Rakyat biasa

Memburu Senja di Banten Selatan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Catatan Perjalanan : Menelusuri Bayah (10)

Hari makin mendekati senja. Sayangnya cuaca kurang bersahabat. Mendung semakin lama makin tebal. Hari menjadi semakin gelap. Kamipun tetap melanjutkan perjalanan ke lokasi yang lain. Abang penjaga warung menawari kami jasa ojeknya. Dengan harga bersahabat. Kami berempat dibonceng ke Karangtaraje dua kali.

Selama perjalanan si tukang ojek menawari kami agar bermalam saja di tempatnya. Menurut ceritanya kalau malam hari tempatnya ramai. Ada banyak pemuda yang ada disana. Kami menolak tawaran tersebut.

Terkait dengan Karangtaraje selama ini sudah dicap sebagai lokasi mangkal para PSK. Sehingga tak mengherankan ketika kami mengutarakan maksud kesana bisa timbul fikiran yang macam-macam. Termasuk dengan si abang pemilik warung. Abang pemilik warung bahkan secara terang-terangan mengarahkan kami untuk turun di lokasi banyak PSK mangkal.

Si abang pemilik warung mungkin menyangka kami baru pertama kali kesana. Pandangan pemilik warung itu terhadap kami mulai berubah saat kami menyebut satu nama. Satu nama yang mungkin cukup disegani di sekitar lokasi itu. Apalagi ketika kami turun ia langsung menyapa kami dengan begitu akrab. Selama ini kami sudah dianggap sebagai keponakan sehingga secara tidak langsung membuat kami juga disegani khususnya PSK disana.

Mereka tak berani menggoda kami karena sudah diultimatum si mami. Meskipun sebenarnya si mami pernah menawarkan kalau pingin silahkan pilih namun ketika melihat kami jauh dari dunia itu ia juga menjaga keyakinan kami. Bahkan kami dengan santainya menumpang sholat di tempatnya.

Kami hanya sebentar singgah di tempat mami sekedar menitipkan barang. Karena lokasi pantai tak jauh dari rumahnya maka kami bisa berjalan kaki dengan kamera dan handycam. Di sepanjang pinggiran pantai Karangtaraje banyak dijumpai gubuk-gubuk bambu. Biasanya sore hari bisa dengan mudah dijumpai perempuan-perempuan yang bersolek dan duduk-duduk di depan gubuk.

Pantai Karangtaraje memang luar biasa. Seperti namanya pinggiran pantai terdiri dari batu-batuan dan karang. Sekilas mirip lava yang membeku. Jika hari sedang cerah menikmati senja bisa menjadi pengalaman yang luar biasa.

Namun sayang ketika hari sudahjelang senja gerimis turun. Opi dan Andi tetap bertahan menanti jika sunset masih bisa terlihat sementara saya dan Agus kembali ke tempat mami.Apalagi batterai saya sudah habis. Meskipun ternyata di saat-saat terakhir sunset masih bisa terlihat.

Kamipun kembali ke tempat tas-tas kami berada. Sebenarnya keluarga mami meminta kami menginap di gubuknya saja. Namun diantara kami ada perbedaan pendapat. Keputusannya nanti malam jika mendapat ojek kami bakal kembali ke Bayah namun jika tidak alternatif menginap di tempat mami bisa menjadi pilihan.

Di gubuknya mami juga jualan berbagai macam minuman, rokok, dan makanan ringan. Selain itu ia mengelola sebuah vila yang letaknya tak jauh dari gubuknya.

Tak lama sekelompok klub motor datang. Mereka menyewa vila yang terletak di samping gubuk mami. Mereka berasal dari Jakarta. Menurut cerita mami selama liburan vila yang dikelolanya selalu terisi oleh rombongan dari luar kota. Tak ingin merepotkan keluarga mami yang tengah disibukkan dengan klub motor tersebut kami melangkah mencari makan dan siapa tahu mendapat tukang ojek yang bersedia mengantar kami ke Bayah.

Sebenarnya ada perasaan sedikit tidak enak jika harus makan di warung lain. Karena warung mami juga menyediakan makanan ringan seperti mie rebus dan goreng. Namun kami tetap memutuskan pergi keluar saja mencari warung lain. Sebelum kami pergi suami Mami mewanti-wanti kami jangan beli di warung di sebelah bawah seberang jalan.

Suasana jalan malam itu cukup gelap. Untung saja kami masing-masing memiliki senter kecil yang kami beli di perjalanan. Lumayanlah meski tidak terlalu terang. Maklum saja harganya juga Cuma 5000 rupiah. Senter kecil buatan Cina dengan lampu led warna putih dan sudah dilengkapi dengan korek gas.

Sekira 200 meter dari tempat Mami kami berhenti. Sebuah warung semi permanen berdinding bambu. Di depan warung nampak 3 orang lelaki tengah ngobrol entah apa yang mereka bicarakan.

Kami memesan mie rebus sambil menunggu pesanan salah satu bapak-bapak yang duduk di sisi sebelah Timur depan warung menyapa kami. Bermula dari sinilah kami mendapat cerita-cerita yang menarik. Lelaki itu saya perkirakan berusia sekitar 4o tahunan. Ia tinggal di daerah Pelabuhan Ratu. Sebelumnya selama bertahun-tahun ia pernah merantau mulai dari Jakarta hingga ke negeri Jiran Malaysia. Selama di Jakarta ia bekerja di sebuah hotel di daerah Gadjah Mada. Tak heran ia bisa membandingkan jumlah tamu hotel antara hotel di Pelabuhan Ratu dan daerah Gadjah Mada.

Di Pelabuhanratu memang terdapat sebuah hotel yang cukup legendaris. Hotel yang dibangun di era pemerintahan Presiden Soekarno, Hotel Samudera. Hotel ini konon didanai dengan harta pampasan perang Jepang. Namun kini pamor hotel tersebut mulai redup. Jumlah pengunjung menurut lelaki tersebut bisa dikatakan kurang sehingga harus disubsidi silang dengan hotel lain yang masih satu manajemen. Hotel Samudera, Pelabuhanratu dan sekitarnya pernah menjadi buah bibir. Dari lelaku itu saya dapat cerita Sultan Brunai pernah menawar untuk membeli dengan harga yang menggiurkan namun ditolak dengan pertimbangan tertentu.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline