Lihat ke Halaman Asli

Fathiya Husna

Mahasiswa Universitas Paramadina

Belajar Integritas dan Kesadaran Hukum dari Sosok Sri Sultan Hamengkubowono IX

Diperbarui: 23 April 2022   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Wikipedia

Meski kita hidup di negara hukum, pada kenyataanya masih sering kita jumpai perilaku yang tidak taat hukum baik dari hal-hal kecil dalam keseharian maupun pelanggaran hukum yang berdampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara seperti tindak pidana korupsi. Kesadaran hukum tentunya tidak lepas dari integritas kita sebagai warga negara karena sudah seyogyanya tunduk kepada aturan hukum yang berlaku. Seperti diketahui integritas merupakan konsistensi antara ucapan dan keyakinan yang tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Dan, membahas mengenai integritas dalam hal kesadaran hukum sebenarnya kita dapat meneladani tokoh-tokoh bangsa, salah satunya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia. Sri sultan yang memiliki nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun lahir di Ngasem, 12 April 1912 sewaktu pemerintahan Belanda menduduki Ngayogyakarta (Yogyakarta). Tokoh nasional sekaligus pahlawan bangsa yang berperan besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa kali diangkat menjadi menteri dan puncaknya menjadi wakil presiden pada tahun 1972– 1978,. Masyarakat mengenal Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai sultan yang demokratis, merakyat dan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Masa kecil Sri Sultan lebih banyak dihabiskan di luar keraton. Beliau diasuh oleh keluarga Mulder Belanda pada usia 4 tahun. Beliau mendapatkan pendidikan bercorak Belanda yang penuh akan kedisiplinan dan gaya hidup sederhana dengan harapan dari Sang ayah yang menginginkan putranya untuk meninggalkan semua kemewahan keraton agar mampu hidup  mandiri dan dilingkupi kesederhanaan. Sri Sultan kerap dipanggil Henkie. Panggilan itu, awalnya diberikan oleh keluarga Mulder. Nama kecil itu kemudian dijadikan sapaan akrab beliau di sekolah, ketika kuliah di perguruan tinggi bahkan setelah selesai kuliah, khususnya bagi teman-teman dekatnya.

Beliau mengenyam pendidikan di Eerste Europeesche Lagere School di Yogyakarta (1925), Hogere Burger School (HBS) di Semarang kemudian pindah ke Bandung. Lalu, pada 1931 beliau melanjutkan studi di Fakultas Indologi yaitu gabungan dari ekonomi dan hukum di Universiteit Leiden, Belanda. Setelah itu, beliau diangkat menjadi Sultan Yogyakarta ke-9 dengan gelar Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat.  Beliau juga dijuluki sebagai Bapak Pramuka Indonesia.

Meski menempuh pendidikan di Belanda, hal ini tidak membuat beliau bersikap pro kepada Belanda. Beliau menegaskan bahwa dirinya tetaplah seorang Jawa. Selain dikenal sebagai sosok yang sangat menjunjung tinggi nasionalisme, Sri Sultan merupakan teladan dalam penegakan hukum. Jabatan sebagai orang nomor di Kesultanan Yogyakarta, tidak membuatnya tinggi hati atau merasa kebal hukum. Jangankan melakukan tindakan untuk memperkaya diri sendiri, seperti yang saat ini dilakukan oleh para pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, Sri Sultan bahkan tak keberatan mendapatkan sanksi hukum, jika dirinya terbukti melakukan pelanggaran. 

 Dalam buku ORANGE JUICE FOR INTEGRITY Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa, dikisahkan bahwa, Sri sultan tetap mematuhi hukum dan menerima penalti jika ketika melanggar sesuatu walaupun beliau merupakan orang terpandang. Contohnya, saat melanggar rambu lalu lintas yang seharusnya jalur satu arah, beliau mengakui jika dirinya bersalah dan meminta meminta surat tilang kepada polisi lalu lintas yang sedang bertugas. Bahkan, setelah ditilang oleh petugas polisi yang diketahui  bernama Royadin tersebut, Sri Sultan justru menaikan pangkat sang polantas karena dinilai sebagai polisi yang berani dan tegas.

Perilaku membumi, juga beliau tunjukkan ketika si mbok, seorang pedagang meminta tolong untuk memberinya tumpangan ke pasar. Sri sultan langsung menepi dengan mobil jip yang dikendarainya dan membantu si mbok untuk menaikkan barang-barangnya ke mobil. Sepanjang perjalanan mbok berbincang santai dan begitu sampai di pasar, Sri sultan pun ikut membantu menurunkan karung-karung milik si mbok. Si mbok itu dengan santai memberi Sri Sultan uang karena telah mengantarnya, tetapi Sri Sultan menolak dengan halus. 

Walaupun si mbok menggerutu karena uangnya tidak diterima, Sri Sultan hanya tersenyum, lalu pamit pergi. Beberapa penjual pasar yang mengenal sosok Sri Sultan langsung memberitahu si mbok.  Cerita ini menjadi  populer di kalangan kawula Ngayogyakarta. Sebuah kisah yang membuktikan sikap mulia Sultan Hamengku Buwono IX. Meski menjadi raja, beliau  tak lantas besar kepala dan gila hormat. Sebuah sikap teladan yang tentunya sangat dirindukan di saat ini, di tengah integritas para pemimpin yang kian langka.

Sumber : 

  • Buku ORANGE JUICE FOR INTEGRITY Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline