Lihat ke Halaman Asli

Antara "Merakit" dan "Memproduksi Massal" Mobil Nasional

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1325983810282592591

[caption id="attachment_154512" align="aligncenter" width="328" caption="Walikota Solo dengan mobil dinas barunya"][/caption]

Hingar bingar media massa tentang Kiat Esemka, mobil buatan anak-anak SMK, hingga hari ini belum mereda. Sebetulnya sudah lama sejak pertama kali diluncurkan, yaitu pada medio tahun 2009. Ketika itu purwarupanya sempat mendapatkan tanda tangan langsung dari presiden di bodi mobilnya. Masyarakat menaruh harapan, namun rupanya pemberitaannya meredup karena tidak terjadi langkah signifikan setelahnya.

Usut punya usut rupanya ketiadaan langkah signifikan tersebut adalah karena izin dari otoritas jalan raya yang tidak kunjung keluar. Ijin ini semacam sertifikasi model untuk pesawat terbang yang boleh beroperasi. Tanpa ijin ini tidak mungkin mendapatkan BPKB dan STNK sehingga ilegal untuk digunakan di jalan raya. Namun jika anda hendak menggunakannya di wilayah off-road maka itu diperbolehkan dengan syarat anda menggunakan alat lain (misalnya mobil derek) untuk memindahkannya dari halaman rumah anda ke lokasi off-road tersebut. Tidak boleh dikendarai selama di jalan raya. Ini terjadi dengan mobil lokal produksi Bandung bermerek FIN-KOMODO. [caption id="attachment_154513" align="aligncenter" width="285" caption="Tanda tangan SBY pada prototip awal Esemka Digdaya"]

132598388674851350

[/caption] Mengapa ijin tidak keluar? Kita tidak akan pernah tahu persis alasannya jika kita tidak menyelidikinya langsung ke pihak terkait. Ada dua teori, pertama memang belum lolos spesifikasinya. Kedua, ada 'permainan' untuk menjegal produksi mobil Esemka ini sehingga pabrikan-pabrikan besar tidak tersaingi. Teori pertama sangat mungkin terjadi karena metode assembly yang digunakan anak-anak SMK bukanlah cara manufaktur perusahaan besar. Bagaimana memastikan setiap mobil Esemka memiliki kualitas sama dan cara produksi yang sama? Padahal kedua hal ini sangat mempengaruhi proses sertifikasi. Teori kedua tidak usah dipertanyakan lagi alasannya. Kita masih punya PR banyak dalam reformasi birokrasi. Namun tulisan saya tidak akan berfokus pada urusan sertifikasi ini. Merakit mobil Kita perlu tahu bahwa skill untuk merakit kendaraan telah dimiliki oleh banyak sekali orang Indonesia. Silakan lihat bengkel-bengkel pinggir jalan di mana saja, mereka bisa memodifikasi sebuah Yamaha Mio menjadi laksana motor besar dengan mesin besar. Mereka bisa mengubah-ubah bentuk mobil, mengganti mesin, dan sebagainya. Jika anda punya cukup uang maka anda bisa merakit mobil dari nol! Tinggal cari mobil-mobil bekas kecelakaan, ambil chassisnya dan perbaiki, buat desain bodinya, pilih mesin yang diinginkan, tambahkan fitur yang sesuai, jadilah kendaraan yang anda inginkan. Tidak perlu pusing dengan part yang dibutuhkan karena part dengan merek apapun bisa disesuaikan dan dimodifikasi sesuai dengan keperluan. Bukan berarti memodifikasi part ini mudah, namun percaya saja dengan kemampuan para mekanik itu. Mereka mampu melakukannya. Sampai tahap ini anda tidak perlu terlalu kaget dengan skill yang dimiliki oleh mekanik bengkel-bengkel kita. Jangankan para mekanik yang berpengalaman, bahkan siswa-siswa SMK (dulu STM bidang automotif) saja memiliki keahlian untuk itu. Ini adalah pelajaran mereka sehari-hari di sekolahnya. Jadi jika mendapati anak SMK yang sukses merakit mobil Esemka, maka sesungguhnya ini adalah kombinasi antara skill hebat para siswa kita, arahan guru yang menginspirasi mereka, serta adanya modal (ada pemesanan) untuk membeli part-part yang dibutuhkan. Skill yang hebat memang sudah ada, guru yang pandai pun banyak, namun jika tidak ada yang berminat membelinya bagaimana mereka bisa memproduksinya? Produksi Massal Namun ceritanya menjadi sangat berbeda jika kita mulai berbicara tentang produksi massal. Industri manufaktur memang salah satu kelemahan utama negara kita. Mulai dari kendaraan hingga peralatan rumah tangga nyaris seluruh industri manufakturnya adalah perusahaan asing. Baru beberapa merek lokal saja yang berkembang seperti Maspion dan Polytron untuk peralatan rumah tangga. Sedangkan untuk otomotif, nyaris 100 persen adalah merek dari pabrikan luar. Kita hanya kebagian assembly saja, meskipun assembly bukanlah hal yang mudah. Produksi massal adalah berbicara tentang kontrol kualitas, kuantitas, speed, dan sebagainya. Produk yang identik adalah mutlak karena jika tidak maka setiap mobil harus disertifikasi satu persatu. Sedangkan jika identik maka cukup satu (atau beberapa) contoh saja yang disertifikasi karena selebihnya sudah dijamin identik dengan mobil contoh tadi. Produksi massal harus menghasilkan produk dengan kualitas yang sama (identik), dalam skala yang besar, serta dengan kecepatan produksi yang tinggi. Silakan bayangkan pabrik Toyota di Indonesia yang mampu memproduksi lebih dari 100.000 buah mobil per tahun. Jika kita pukul rata sebanyak 100.000 buah dibagi dengan 365 hari dalam setahun, maka lebih dari 270 buah mobil dibuat setiap harinya. Artinya assembly lebih dari sepuluh buah mobil hanya memakan waktu kurang dari satu jam. Bandingkan dengan Kiat Esemka yang membutuhkan waktu hingga 4 bulan untuk menyelesaikan satu unit! Ini bukan masalah skill siswa-siswa SMK kita dalam mendesain dan merakit mobil. Ini adalah urusan industri, urusan korporasi besar. Tidak adil jika kita membandingkannya dengan brand "mobil nasional" semacam Proton misalnya. Seberapa mampu siswa-siswa kita memproduksi mobil untuk seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan tag "mobnas"? Langkah selanjutnya Bukan berarti ini jalan buntu. Justru ini langkah awal yang bagus. Sebetulnya perusahaan nasional kita banyak yang memiliki kapabilitas yang bisa dikembangkan ke arah manufaktur. Sebagai contoh misalnya PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT Industri Kereta Api (PTINKA), dan PT Penataran Angkatan Laut Indonesia (PTPAL). Semuanya punya kapabilitas untuk produksi massal meskipun dalam skala yang berbeda dengan manufaktur mobil. Bahkan secara teknologi pun mereka sudah siap, tinggal disesuaikan saja urusan administrasi, manajemen, serta keuangannya. Siswa-siswa kita bisa direkrut ke dalam perusahaan ini (atau perusahaan joint venture antara mereka khusus untuk bidang otomotif) sebagai backbone dan SDM dasar dalam proses desain dan assembly. Yang tidak kalah pentingnya adalah urusan marketing dan layanan purna jual. Sebagai gambaran, di Malaysia merek Proton dan Perodua sangat diminati karena part dan layanan purna jualnya murah dibandingkan dengan merek luar negeri. Jika langkah seperti ini bisa dilakukan, baru kita boleh membandingkan antara Esemka dengan merek pabrikan lainnya. Viva Indonesia *disclaimer: gambar diambil dari detik oto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline