Kiki, seorang gadis berusia 18 tahun, adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Ia lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil di tepi hutan, di mana setiap hari dipenuhi hiruk-pikuk kakak dan adiknya yang riang dan tugas rumah yang tak pernah habis. Ayahnya seorang buruh tani, sementara ibunya menjahit pakaian untuk tetangga sekitar demi menambah penghasilan. Kehidupan mereka sangat sederhana, tetapi Kiki tumbuh menjadi seorang gadis yang penuh semangat dan impian besar.
Sejak kecil, Kiki selalu bercita-cita menjadi seorang sarjana. Ia ingin memutus lingkaran kemiskinan keluarganya dan memberikan masa depan yang lebih baik untuk adik-adiknya. Namun, ia tahu bahwa jalan menuju impiannya tidaklah mudah.
Setelah lulus SMA, Kiki belajar mati-matian untuk lolos ke universitas negeri. Ia mengisi hari-harinya dengan membaca buku, mengerjakan soal-soal, dan mengikuti les gratis yang diadakan di balai desa. Setiap malam, ia belajar dengan cahaya lampu minyak karena listrik di rumahnya hanya cukup untuk penerangan utama.
Hari pengumuman tiba. Dengan penuh harap, Kiki membuka hasil seleksi universitas negeri. Namun, namanya tidak ada di daftar penerimaan. Air matanya tak terbendung. Ia kecewa dan merasa gagal. Namun, ibu dan ayahnya, dengan suara lembut, berkata, "Kegagalan ini bukan akhir dari segalanya, Ki. Kalau memang belum bisa di negeri, cari jalan lain. Rezeki pasti ada."
Tak mau menyerah, Kiki mencoba mendaftar ke universitas swasta dengan beasiswa. Setelah melalui proses yang panjang, ia akhirnya diterima. Meskipun rasa kecewa masih tersisa, Kiki bersyukur karena ini adalah langkah kecil menuju impiannya.
Namun, perjuangan baru dimulai. Kiki harus merantau ke kota, meninggalkan keluarga dan desa yang selama ini menjadi tempatnya berlindung. Uang tabungan keluarganya hanya cukup untuk membayar biaya kuliah semester pertama. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, Kiki mulai mencari pekerjaan paruh waktu. Ia bekerja sebagai pelayan kafe di malam hari, sementara siangnya ia mengikuti perkuliahan.
Hari-hari Kiki penuh perjuangan. Ada kalanya ia merasa lelah dan hampir menyerah. Tetapi setiap kali ia ingat tujuan besarnya---membahagiakan keluarganya---ia kembali bersemangat. Ia mengatur waktu dengan ketat, membagi fokus antara kuliah, pekerjaan, dan belajar.
Empat tahun berlalu. Kiki akhirnya berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ia bahkan dinobatkan sebagai lulusan terbaik di angkatannya. Namun, hari wisudanya tidak seperti yang ia impikan. Kedua orang tuanya tidak bisa datang karena tidak punya cukup uang untuk membeli tiket perjalanan ke kota. Hanya kakak iparnya yang hadir, memberikan dukungan dan pelukan hangat.
Dengan mengenakan kebaya sederhana yang ia jahit sendiri, Kiki melangkah ke panggung wisuda. Meski tanpa kehadiran orang tua, ia tetap tersenyum. Dalam hatinya, ia berkata, "Ini untuk Ayah dan Ibu. Aku akan membuat kalian bangga."
Setelah wisuda, Kiki pulang ke desanya dengan gelar sarjana di tangan. Ia mulai bekerja menjadi pegawai negeri sipil, membantu keluarganya, dan membiayai pendidikan adik-adiknya. Meski perjalanannya penuh liku, Kiki bersyukur atas semua yang telah ia lalui. Ia tahu bahwa keberhasilan ini bukan hanya miliknya, tetapi juga hasil doa dan cinta keluarganya.
Kiki adalah bukti bahwa mimpi besar bisa dicapai dengan tekad, usaha, dan rasa syukur.