Riuhnya jalanan dengan lalu-lalang mobil dan pedati dikalahkan oleh suara kipas dan hentakan roda besi trem yang sedang melaju. Puluhan orang berdesakan tidak menyisakan ruang Jamal untuk bergerak. “Permisi Pak, permisi,” diucapkan Jamal berulang-ulang saat berusaha keluar trem di pemberhentian tujuannya. Baru saja turun ia sudah ditunjukkan dengan satu-satunya gedung kokoh di sekitar halte itu dengan plakat tulisan yang berartikan “Sekolah Menengah Bumiputera Karangraya” di depannya. Tempat kerja baru yang ditugasakan Pemerintah Kolonial kepada Jamal yang menjadi guru untuk sekolah menengah.
Tanpa waktu lama Jamal menuju ruang guru dan bertemu kepala sekolah yang akan memperkenalkan guru baru itu.
“Bapak Ibu saya ingin Anda semua bertemu dengan Pak Jamal. Dia ini akan membantu kita semua mengajar murid sekolah ini,” sambut Kepala Sekolah. Kemudian Jamal memperkenalkan dirinya sendiri, “Iya betul Pak, perkenalkan saya Jamal. Senang bisa bekerja sama dengan Bapak Ibu, saya harap bisa belajar banyak dari sini.”
Dalam ruangan itu hanya ada Kepala Sekolah dan empat guru. Jika tadi Kepala Sekolah berkata kehadirannya akan membantu, tidak heran. Melihat ini ia khawatir justru menambah beban guru lama lain yang harus membinanya. Tetapi tetap Jamal ingin memberikan yang terbaik. Ya jelas, kalau hilang posisinya sebagai guru, mungkin ia akan berakhir di tempat kerja yang lebih buruk.
Hari pertama mengabdi di tempat itu. Setelah memasukki ruangan kelas dan basa-basi tentang perkenalan ia langsung mengajar materi. “Sudah ya, habis dijelaskan tadi sekarang coba dibaca yang ada di depan, Suryo,” Jamal memberi kesempatan Suryo untuk mempraktekan pengucapan bahasa yang baru saja dipelajari. Tetapi menunggu Suryo membuka mulut sudah beberapa menit.
“Paakk, kalau urusan berbicara jangan suruh Suryo, Pak!” Seru Sartinah dan diikuti tertawa kecil teman-temannya. Jamal yang mendengar sikap siswi itu, mungkin satu-satunya siswi di sana, sigap menegur “Hus, jangan begitulah. Makanya ini diberi kesempatan, ayo Suryo,” Setelah sadar Suryo hanya mengucapkan satu dua suku kata dengan terulang-ulang kemudian diam kembali, Jamal terpaksa berganti menunjuk murid yang lain karena sebentar lagi kelas akan bubar.
Kembali di ruang guru setelah mengajar. Jamal baru duduk di kursinya dengan membawa gelas minum langsung disahut rekan guru sebelahnya. “Mas Jamal, bagaimana tadi di kelas?” Mendengar ajakan berbicara dari Pak Amin ia menengok dan membalasnya dengan pengalaman pertamanya mengajar di sekolah kota ini kemudian teringat tentang si Suryo tadi, “Sebentar Pak, Bapak pernah ngajar Suryo?” Pak Amin mengangguk.“Ohh, si Suryo memang begitu Mas. Dari awal masuk. Jujur bingung. Saya juga belum pernah berbicara empat mata sama Suryo.” Terang seorang guru yang telah mengajar 2 tahun di sana. Belum senior tapi cukup pengalamannya mengingat guru lulusan sekolah pendidikan baru banyak belakangan ini.
“Hmm yasudah Pak. Ayo minum Pak, minum.” Jamal mencoba akrab sebelum meminum gelas yang tadi dibawanya dan dibalas Pak Amin dengan santai. Jamal cukup nyaman dengan rekan-rekan barunya, tetapi baru akrab baik dengan Pak Amin ini. Entah yang lain tidak terlalu nyambung dengan pembicaraan Jamal atau bagaimana.
Suatu hari, ketika setelah jam pulang dan Jamal selesai mengajar. Suryo masih di kelas melanjutkan membaca buku. Anak-anak yang lain sudah bergegas pulang, mungkin ingin membantu pekerjaan orang tua mereka di rumah, sawah, atau ditunggu juragan barang yang akan mereka jual di pasar. Jamal menyempatkan berbicara dengan Suryo dan juga mencoba membantunya dengan masalah di hari yang lalu. “Memang ya, ‘Emas di Kebun’ lagi banyak di baca. Bukunya aja sampai ke kampung Bapak.” Jamal berusaha memulai pembicaraan dengan membahas buku tentang perkebunan di residen itu yang dibaca Suryo.
“Sudah sampai mana bacanya?” tanya Jamal, “masih bahas olahan kopi Pak. Tenang Pak saya bisa berbahasa” Suryo sudah tahu Jamal ingin menanyakannya tentang hal itu setelah sehari sebelumnya gagal akibat serombongan teman-temannya kembali ke kelas untuk mengambil barang yang tertinggal. Jamal terkejut bukan karena ia dapat berbicara tetapi karena ia dapat menebak niat Jamal. Dugaannya tidak meleset, Suryo hanya malu di depan teman-teman atau keramaian.
“Kamu kalau di depan teman-teman itu jadi gugup seperti kemarin-kemarin itu kenapa Suryo?” Kembali Jamal bertanya dengan niatnya menginterogasi sebab-sebab setelah mengerti Suryo mau diajak berbicara hal ini. “Biarin aja mereka, toh, usilnya mereka bukan karena kamu salah atau apa,” Lanjut Jamal. Suryo menaruh bukunya. Ia membuat posisi duduknya lebih rileks, membuat bangku panjang setengah rapuh yang didudukinya berdecit, mengeluarkan suara lain setelah bermenit-menit obrolan mereka berlangsung dalam hening dan sejuknya angin dataran tinggi.