Perilaku deviatif yang dilakukan oleh anak punk merupakan bagian dari permasalahan anak jalanan di Indonesia yang sangat kompleks. Kemunculan anak punk dipicu oleh krisis moneter. Anak punk memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak jalanan pada umumnya. Menurut O'Hara (1999), istilah punk merujuk pada salah satu tren remaja dalam berpakaian dan bermusik, serta keberanian dalam melakukan perubahan atau pemberontakan yang membentuk perlawanan luar biasa melalui penciptaan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan mereka sendiri. Anak-anak punk sering ditandai dengan gaya berpakaian seperti sepatu boots, potongan rambut Mohawk ala suku Indian (feathercut) dengan warna-warni, celana jeans ketat (skinny), rantai dan paku (spike), baju lusuh, badan bertato, tindikan (piercing), dan kebiasaan mabuk.
Motivasi seseorang untuk bergabung dengan punk sangat beragam. Banyak anak punk berasal dari keluarga kelas pekerja atau mereka yang merasa terpinggirkan secara ekonomi ikut bergabung menjadi punk. Adanya lingkungan yang kurang beruntung seperti lingkungan miskin atau penuh kekerasan. Munculnya perasaan teralienasi di mana seseorang merasa terasing, terpisah, atau tidak terhubung dengan lingkungan sosialnya. Beberapa penyebab dari perasaan ini yaitu, pengalaman masa lalu yang menyakitkan, seperti bullying, pelecehan, atau kehilangan orang yang dicintai, dapat membuat seseorang merasa terisolasi. Seseorang yang merasa berbeda dari orang lain karena ras, agama, orientasi seksual, atau minat yang unik dapat memicu perasaan terasing.
Di Indonesia, anak punk yang hidup di jalanan dan jumlahnya mayoritas mendapat perhatian lebih dari publik. Anak-anak punk tersebut umumnya berpendapat bahwa gaya hidup mereka adalah sesuatu yang wajar di daerah metropolitan. Keberadaan anak punk di kota-kota besar, sering menghabiskan waktu di jalanan dengan mengamen di lampu lalu lintas, gaya berpakaian dan aktivitas nongkrongnya, dirasakan mengganggu kenyamanan masyarakat karena kekhawatiran akan terjadinya tindak kriminalitas yang dilakukan oleh mereka.
Bidang yang digeluti oleh anak punk umumnya terkait dengan musik dan seni. Musik punk adalah salah satu aspek paling menonjol dari subkultur ini. Selain itu, seni visual seperti grafiti dan zine (majalah buatan sendiri) juga merupakan bagian penting dari budaya punk. Banyak komunitas punk terlibat dalam aktivisme sosial, mengangkat isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan anti-kapitalisme.
Kompetensi yang diperlukan untuk menunjang berhasilnya sebuah komunitas subkultur pada anak punk meliputi kreativitas untuk menciptakan musik, seni, dan fashion yang unik dan berbeda dari arus utama. Bagi mereka yang terlibat dalam musik, keterampilan bermain alat musik dan produksi musik sangat penting. Sistem sosial membantu anak punk memiliki kemampuan berorganisasi yang baik. Mereka dapat mengorganisir acara, seperti konser atau demonstrasi, yang memerlukan keterampilan manajemen dan koordinasi. Kompetensi pengetahuan sosial dan politik juga sangat diperlukan, termasuk pemahaman tentang isu-isu sosial dan politik yang relevan dengan nilai-nilai komunitas punk.
Dengan adanya komunitas mereka dapat membangun struktur dan organisasi melalui jaringan informal. Komunitas punk biasanya tidak memiliki struktur hierarkis yang ketat. Mereka lebih mengandalkan jaringan informal dan hubungan personal. Banyak komunitas punk yang beroperasi sebagai kolektif, di mana keputusan dibuat secara bersama-sama dan setiap anggota memiliki suara yang sama.
Anak punk sering dianggap sebagai penyimpang karena perilaku dan penampilan mereka sering kali melanggar norma dan aturan yang diterima secara umum. Perilaku ini mencakup tindakan yang secara hukum atau sosial dianggap tidak dapat diterima, seperti vandalisme atau perilaku antisosial. Dalam beberapa kasus, perilaku anak punk bisa dianggap deferensiatif jika mereka hanya berbeda dari norma tanpa melanggar hukum atau menyebabkan kerugian. Misalnya, memilih gaya hidup minimalis atau menolak konsumerisme bisa dianggap sebagai bentuk deferensiatif.
Adapun, nilai atau prinsip yang dilanggar oleh anak punk dari sistem sosial yang berlaku mencakup norma sosial dan budaya, terutama dari segi penampilan yang ekstrem. Contohnya termasuk rambut berwarna terang, pakaian robek, dan aksesori mencolok. Dari segi perilaku, anak punk dianggap mengganggu ketertiban umum dan melanggar norma, seperti vandalisme. Anak punk sering kali menolak otoritas dan struktur kekuasaan yang dianggap menindas, seperti pemerintah, polisi, atau institusi lainnya. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai kepatuhan dan penghormatan terhadap otoritas. Prinsip DIY dalam subkultur punk menolak konsumerisme dan materialisme, serta menentang sistem kapitalis dan mengecam ketidakadilan ekonomi yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Dengan mengekspresikan diri tanpa batasan, anak punk sering kali bertentangan dengan nilai-nilai konformitas dan tradisi.
Perilaku menyimpang pada anak punk bukanlah masalah yang sederhana, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara individu, lingkungan sosial, dan sistem sosial yang lebih luas. Masalah sebenarnya bukan terletak pada individu-individu yang terlibat, melainkan pada sistem sosial yang seringkali gagal memahami dan mengakomodasi perbedaan. Anak punk sebenarnya adalah cerminan dari permasalahan yang lebih luas dalam masyarakat, seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, dan kurangnya toleransi terhadap perbedaan. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu mengubah cara pandang terhadap anak punk dan bekerja sama untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI