Konflik Israel-Palestina menjadi satu-satunya peperangan zaman modern yang belum menemui titik terangnya. Sampai sekarang, penyerangan oleh Israel terhadap wilayah Palestina menimbulkan kontra dan kecaman dari komunitas internasional. Tindakan Israel di Palestina diklaim oleh pihak Israel sendiri sebagai respons terhadap ancaman keamanan yang dihadapi oleh warganya dengan dalih pembasmian sarang teroris Hamas. Namun, banyak sekali pihak justru menyoroti tindakan-tindakan militer Israel di wilayah Palestina sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional. Tindakan Israel tersebut termasuk genosida dan melampaui batas sehingga merugikan warga Palestina yang tidak berdosa.
Tercatat korban tewas warga Palestina telah menyentuh angka 30.000 jiwa dan sekitar 5.000 di antaranya merupakan anak-anak. Bahkan, 1.400 warga Israel, 90 jurnalis, dan 80 petugas Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) juga ikut menjadi korban. Sementara itu, 5.000–9.000 pejuang Hamas dan 600-an tentara Israel juga diberitakan tewas. Di Tepi Barat, yang jauh dari perang, diberitakan 300-an warga Palestina tewas akibat tindak kekerasan tentara Israel. Kenyataan ini sungguh miris karena berbagai pihak tak bersalah direnggut hidupnya atas dasar perebutan kekuasaan dan wilayah.
Hiruk-pikuk pertempuran di tanah Palestina diawali dengan Deklarasi Balfour tahun 1917. Berdasarkan deklarasi tersebut, Inggris menjanjikan tempat tinggal di Palestina untuk rakyat Yahudi sehingga mereka berbondong-bondong menduduki tanah Palestina. Melihat hal itu, warga Palestina tentu tidak terima dan menganggap tanah air mereka sedang dijajah oleh Zionis. Seiring berjalannya konflik yang mulai memanas, Resolusi 181 tahun 1947 diharapkan dapat menjadi solusi kedua belah pihak, tetapi nyatanya tidak. Resolusi tersebut seolah-olah mendukung penuh pihak Israel untuk mengklaim wilayah Palestina secara paksa. Bahkan, Palestina sebagai pemilik tanah kelahiran yang sah hanya mendapatkan 43,5 % dari wilayahnya sendiri. Hal ini menyebabkan Palestina memiliki kontrol wilayah yang sangat terbatas.
Dampak konflik kedua negara dengan cepat merambah ke belahan dunia lain. Komunitas internasional terus menuntut pembebasan warga Palestina dari serangan Israel. Pada tanggal 25 Februari lalu, prajurit Angkatan Udara AS, Aaron Bushnell, meninggal setelah mencoba membakar dirinya di depan Kedutaan Besar Israel di Washington sebagai protes terhadap perang tersebut. Ini merupakan kejadian kedua setelah seorang wanita Amerika juga melakukan hal yang sama di depan Konsulat Israel di Atlanta pada 1 Desember 2023. Bagi kaum liberal kolot, tindakan ini mewakili tindakan terorisme sehingga warga Palestina digeneralisasikan sebagai bangsa yang buruk. Tetapi, di sisi lain, tindakan tersebut merupakan bentuk pembelaan dan empati yang mendalam terhadap Palestina dengan mengecam keras atas kekejaman massal yang terus terjadi hingga saat ini.
Muak dengan pertumpahan darah di era modern ini, gencatan senjata didesak oleh banyak pihak untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Yang paling disorot pada bulan Maret lalu, yaitu melalui event 96th Academy Awards, banyak dari aktris, aktor, dan public figure yang berkecimpung pada dunia perfilman, mendukung gencatan senjata untuk dilaksanakan dengan segera. Beberapa tokoh publik, seperti Mark Ruffalo, Billie Eillish, Finneas, Eugene Lee Yang, Ava DuVernay, hingga Ramy Youssef, memakai pin merah yang melambangkan Artists for Ceasefire. Entah gencatan senjata ini ampuh dalam meredamkan emosi kedua belah pihak atau hanya sebatas omong kosong berikutnya.
Faktanya, Organisasi Internasional untuk Pertahanan Anak-anak di Palestina (DCIP) menyebut Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Antony Blinken, dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin mendukung pengeboman Israel di Gaza. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi berbagai pemangku kepentingan. Negara-negara berkembang sepertinya dipandang sebagai pion negara adidaya dunia yang sewaktu-waktu siap dicerai-berai. Negara adidaya seolah-olah bertindak di atas angin demi memenuhi paham liberalisme dan kapitalisme yang mereka banggakan.
Resolusi perdamaian yang disepakati banyak negara melalui PBB beberapa waktu lalu juga tidak ada artinya sama sekali bagi Israel. Ironisnya, setelah resolusi tersebut disahkan, Israel meresponsnya dengan meningkatkan serangan ke wilayah utara Gaza. Secara provokatif, Israel juga berencana untuk melakukan operasi militer tahap kedua di Jalur Gaza, khususnya daerah pengungsian. Israel tampaknya tidak pernah puas dengan banyaknya ancaman dan genosida yang mereka layangkan kepada Palestina.
Oleh karena itu, selama peran negara adidaya hanya sebatas pada peningkatan reputasi, tragedi kemanusiaan Palestina tidak akan terselesaikan. Karena dengan upaya seluruh pendukung Palestina di seluruh dunia, tampaknya mustahil untuk mengintimidasi Israel agar mengubah pendiriannya. Sebaliknya, kekejaman terus meningkat dari waktu ke waktu, seolah-olah Israel berhak melakukan apa pun tanpa rasa takut. Hal tersebut dikarenakan mereka menerima dukungan dari negara-negara yang paling mampu mempengaruhi kebijakan internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H