Lihat ke Halaman Asli

fathiyah

mahasiswa

Petunjuk Itu Tepat di Depanmu

Diperbarui: 17 April 2020   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun terakhir kelulusan SMA, semua orang telah memantapkan pilihannya. menentukan Universitas yang dituju, meyakinkan diri pada jurusan yang dipilih. Di ruang pikir pojok kamarku, dengan cahaya senja yang mencuri masuk melewati jendelaku, aku dihantui tekanan yang besar. "karena teman-temanku telah memilih, maka aku pun juga harus demikian.", batinku. Menyisakanku pada kesimpulan bahwa aku harus segera menentukan pilihan kampus dan jurusan. Karena 2 hari lagi, pendaftaran SNMPTN ditutup.

Aku beranjak meninggalkan kamar, menemui kedua orangtuaku, bercengkrama dengan adik-kakakku, dan melakukan hal lain yang bisa menunda sejenak pikiran kekhawatiran masa depanku. Tepat pukul 21.30 ruang keluarga mulai sepi, masing-masing kami kembali ke kamar untuk beristirahat. Tidak seperti kebiasaan warga kota besar yang masih aktif berkegiatan hingga larut malam, warga Purwokerto sudah sepi beristirahat di pukul 9 malam.

Aku berbaring, melakukan rutinitasku membaca terjemahan Al-Qur'an sebelum tidur. "Pekan ini, harus selesai 5 juz" Begitulah targetnya. Membaca terjemahan Al-Qur'an bagiku adalah hal yang tidak kalah penting dari tilawah Al-Qur'an yang kita lakukan seperti biasanya. Karena, akan ada rasa cinta yang lebih jika kita memahami makna dan arti dari apa yang kita lantunkan. Malam itu aku berhasil tidur tenang, melupakan kembali tekanan masa depan yang menghantui.

Tanpa kusadari keesokan harinya di sekolah, tekanan itu mulai kembali. Dan kali ini, tumbuh semakin besar. "fathia, ustadzah BK memanggilmu" ujar salah satu kawanku memotong candaku dengan kawanku yang lain. "ada apa?" tanyaku. "entahlah. Tapi sepertinya penting sekali." Jawabnya sambil berisyarat agar aku bergegas pergi. Aku berjalan tenang untuk menemuinya. "Sepertinya, aku tidak melakukan kesalahan apa apa belakangan ini.." batinku meyakinkan.

"Assalamu'alaikum ustadzah" ucapku sembari membuka pintu. "Waalaikumussalam, silahkan masuk fathia". Aku duduk. Semua hening hingga pernyataan ustadzahku memecahkannya. "fathia harus segera memilih kampus dan jurusan ya, 1 hari lagi ditutup pendaftarannya." Wajahnya terlihat berkali lipat lebih serius dari biasanya. Ini lebih buruk daripada teguran melakukan kesalahan.. batiku menggigit bibir. 10 menit bertemu, aku pun keluar ruangan.

Aku kembali menemui kawanku dengan raut yang sedikit lebih tertekuk. Kawan-kawanku melanjutkan perbincangan yang sempat terhenti saat aku pergi. Seperti tidak lelah Tuhan mengujiku dengan berbagai tekanan, perbincangan yang mereka bicarakan pun kini tentang perkuliahan dan jurusan yang mereka pilih. Dengan antusias besar mereka saling membandingkan pilihan mana yang kebih baik antar dirinya dengan yang lainnya. "kamu yakin mau coba arsitektur ITB?" ujar satu kawanku kepada kawanku yang lain. "passing gradenya lumayan sih.. tapi gapapa deh. Udah cita-cita dari kecil", jawabnya sambil terkekeh kecil. "kamu gimana fath pilih kampus apa?", kini giliranku membuat selingkar perbincangan kami terpusat pada diriku saja. "uhm.." jawabku. Sejauh ingatanku, hanya itu kata yang keluar dariku pada perbincangan siang itu.

Waktu telah menunjukan 16.30 WIB, bel tanda kepulangan berbunyi. Setelah berbincang sebentar dengan kawan-kawan, aku pun pamit pulang. Hari ini, sudah 2 orang yang menjadi alasan munculnya tekanan itu lagi. Menanyaiku dengan pertanyaan yang aku sendiri pun masih berusaha mencari jawabannya. Sesampainya dirumah, orang tuaku sudah menunggu. Aku masuk dengan salam, mencium tangannya, dan hendak berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian. Tepat sebelum aku melangkah berjalan, keduanya memberhentikanku. "fathia belum menentukan kampus pilihan ya?" tanyanya kepadaku. Ah sudah 3 orang. Dan mungkin jika sorot mata ayahku termasuk, maka 4 orang.

Sejujurnya, bukannya aku kebingungan dalam memilih kampus dan jurusannya. Namun, pertanyaan yang selalu kudengar dari orang-orang seakan akan menekanku dengan jawaban bahwa setelah SMA, kita hanya boleh kuliah saja. Apa memang tidak ada pilihan lain selain  berkuliah setelah lulus? Bukanku tidak mencintai ilmu, namun rasanya jika aku memutuskan dimana aku harus berkuliah sekarang, akan ada satu hal yang aku lewatkan. Malam itu aku memutuskan tetap berada di dalam kamar. Menyelesaikan sedikit tugas dan mengakhirkannya dengan beristirahat.

Setelah selesai mengerjakan, seperti biasa rutinitasku sebelum tidur, aku membaca terjemahan Al-Qur'an. Namun pada rutinitasku kali ini, Maha Baiknya Allah, aku menemukan jawaban yang selama ini aku cari-cari. Aku terhenti pada suatu ayat yang seakan-akan menjadi cahaya penerang di tengah kekhawatiranku selama ini, tentang kemana aku harus berlabuh setelah lulus SMA. "...bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang bathil." Begitu bunyi ayat 185 di surat Al Baqarah yang mengetuk hatiku. 

Disaat aku sedang kebingungan mencari petunjuk, Maha Baiknya Allah, Allah hadirkan jawaban kepadaku dengan mengatakan bahwa "Al-Qur'an itulah yang menjadi petunjuk". Maka mantaplah jawabanku pada malam itu, bahwa setelah lulus SMA aku ingin bersungguh-sungguh memperlajari petunjuk itu. Aku, ingin berlabuh di sekolah menghafal terlebih dahulu sebelum nanti benar-benar berkuliah. 

Kedepan, akan ada lebih banyak pertanyaan kehidupan yang menyesakkan dada. Maka aku ingin kelak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu  berdasarkan arahan dari Firman Allah. Kini perasaanku pun menjadi tenang, karena esok aku sudah bisa menjawab pertanyaan ustadzah BK, kawan-kawan, dan kedua orang tuaku dengan jawaban yang aku temukan malam ini. Pasti, insyaAllah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline