Lihat ke Halaman Asli

Ruang Publik, Keramahan, dan Humanisme Kota

Diperbarui: 1 Januari 2016   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Antisiasme orang-orang melihat kembang api di jalanan yang macet"][/caption]Karena belajar bisa berasal dari segala hal. Bisa dibilang itulah hal yang saya rasakan ketika bisa menonton perayaan pergantian tahun. Bisa dibilang juga ini kali pertama saya mengikuti jalannya pergantian tahun di luar rumah. Saya paham dan mengerti jika di dalam agama yang saya yakini, kita tidak diperkenankan untuk ikut-ikutan merayakan momen pergantian tahun ini. Dan saya juga tidak merasa ikut merayakan pergantian tahun. Saya hanya menonton dan tujuan saya adalah melepaskan penat setelah sekolah saya memberi “kado indah” penutup tahun. Entahlah, apa masih dianggap sebagai ikut merayakan atau seperti apa, saya tidak terlalu memusingkannya. Tetapi yang jelas saya mendapatkan banyak pelajaran dari perayaan tahun baru yang baru pertama kali saya ikuti.

Melihat antusiasme masyarakat Yogyakarta tadi malam, saya menjadi tertegun dan bertanya, seperti inikah kondisi masyarakat kita tiap merayakan suatu kegiatan besar? Selalu berdesak-desakan dijalanan dan yang membuat miris lagi mereka rela menikmatinya di pelataran mall yang sudah tutup atau di jalanan. Saya ikut merasakan euphoria dari masyarakat yang ingin menikmati malam tahun baru. Mereka dapat dengan senang hati menikmati pertunjukan kembang api dijalanan yang macet. Tidak menghiraukan lagi kemacetan yang ada hingga membuat kendaraan mereka berhenti total. Seluruh golongan masyarakat tumpah ruah menjadi satu dibeberapa titik di Yogyakara. Mereka berbaur menjadi satu, bertujuan sama, sama-sama ingin menikmati malam pergantian tahun.

Fokus saya disini bukan mau menanggapi perayaan tahun baru yang diikuti masyarakat yang seagama dengan saya adalah melanggar ketentuan agama. Buat saya itu hak mereka dan tanggung jawab mereka. Fokus saya disini adalah bahwa ternyata selama ini masyarakat yang ada dalam suatu wilayah tidak memiliki fasilitas ruang publik yang memadai, khususnya di kota-kota besar. Seperti yang kita tahu bahwa ruang publik merupakan sebuah ruang terbuka yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat kota atau masyarakat yang menempati suatu wilayah. Yang terjadi sekarang adalah, masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah masih kesulitan mendapatkan tempat layak untuk menikmati suasana kota sambil bercengkrama dengan keluarganya atau sesama masyarakat kota. Seperti yang semalam terjadi, masyarakat disekitar Candi Prambanan tidak mendapatkan tempat untuk menikmati indahnya kembang api. Mereka tidak sanggup untuk menikmati kembang api dari Ramayana Ballet karena tiket masuk yang luar biasa mahal. Ruang-ruang publik yang ada seringkali menjadi ruang privat yang hanya bisa diakses oleh masyarakat tertenu. Padahal sebenarnya ruang publik harus bisa diakses oleh seluruh golongan masyarakat. Alhasil masyarakat lebih memilih untuk nongkrong di motor di sisi-sisi jalan agar bisa ikut merasakan suasana malam tahun baru.

Kota yang baik adalah kota yang ramah dan humanis. Keramahan dan humanisme kota dapat dilihat dari seberapa banyak ruang terbuka dan ruang publik yang ada di kota tersebut. Ruang publik menjadi indikator keduanya karena dengan adanya ruang publik, masyarakat dapat saling berinteraksi satu sama lain hingga  menumbuhkan rasa empati antar masyarakat. Kesan individualis dari sebuah kota dapat hilang ketika masyakarakat kotanya saling kenal, saling berinteraksi, dan berkomunikasi. Hal-hal tersebut dapat diciptakan lewat keberadaan ruang terbuka dan ruang publik. Saya yakin ketika setiap kota memiliki ruang publik yang memadai, maka kemacetan tiap perayaan kegiatan besar-besaran dapat diminimalisir. Lebih penting lagi adalah, masyarakat yang tidak mampu mengakses tempat-tempat tertentu dapat ikut menikmati perayaan dengan rasa yang sama, dengan kenyamanan yang sama.

Masyarakat kota sudah terlalu sibuk dan penat menghadapi keriwehan kota dan keriwehan pekerjaan. Mereka membutuhkan sesuatu di dalam kotanya untuk menghilangkan kepenatan itu dan kota seringkali memilih mall sebagai  alternatif menghilangkan penat para warganya. Padahal tidak semua masyarakat kota mampu pergi ke mall-mall yang super mewah. Dan lagi, mall hanya akan membuat masyarakat kota semakin individualis dan konsumtif. Solusi utama adalah menyediakan ruang publik yang memadai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline