Lihat ke Halaman Asli

One Village One Product, Bersaing di Pasar Bebas ASEAN Lewat Kearifan Lokal

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Indonesia sebagai negara anggota ASEAN sebentar lagi akan menghadapi suatu kondisi dimana pasar dalam negeri akan terbuka seiring dengan diterapkannya Asean Free Trade Area. Dengan adanya pasar bebas ini maka produk-produk dari negara lain akan membanjiri pasar nasional maupun internasional (Chirstanto, 2011). Asean Free Trade Area atau yang sering disingkat dengan AFTA merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. AFTA lahir pada saat diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-4 di Singapura, bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing yang kuat dipasar global. Tujuan lain yang ingin dicapai ialah meningkatnya arus perdagangan antar negara-negara ASEAN. Terbukanya pasar dalam negeri terhadap produk-produk dari luar negeri memberikan tantangan tersendiri bagi pelaku usaha utamanya pelaku usaha bidang industri kreatif dalam hal ini usaha kecil menengah. Para pelaku industri kreatif ini dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas produksinya dan juga mampu menciptakan produk-produk yang memiliki keunggulan dan keunikan dibanding dengan produk lain agar dapat berkompetisi dalam pasar global yang semakin sengit.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan daya saing serta meningkatkan keunggulan produk-produk yang dihasilkan dari unit-unit kegiatan usaha berbasis industri kreatif yang ada. Salah satunya dengan menciptakan dan mengembangkan kearifan lokal sebagai keunggulan komparatif antar daerah. Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal dan kekuatan daerah masing-masing. Menilik dari keadaan geografis Indonesia yang berupa kepulauan dengan isolasi geografis yang masih tinggi, menciptakan budaya dan kearifan lokal yang bermacam-macam serta mempunyai ciri khas tersendiri disetiap daerah. Kearifan lokal inilah yang perlu ditonjolkan sebagai kekuatan utama kegiatan industri kreatif disetiap daerah untuk menghadapi AFTA. Penciptaan produk-produk berbasis kearifan lokal dapat dilakukan melalui konsep One Village One Product yang artinya dalam sebuah desa menghasilkan suatu produk yang memiliki keunggulan dan keunikan serta mencirikan identitas dari desa tersebut. One Village One Product (OVOP) pertama kali dicetuskan oleh Prof. Morihko Hiramatsu dari Jepang lantas banyak diadopsi terutama oleh negara-negara di ASEAN, seperti Malaysia, Philipina, Kamboja, Vietnam, Thailand, dan beberapa negara Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur, dan Amerika Selatan. Konsep OVOP ini menekankan pada penciptaan produk yang memiliki keunikan untuk dikembangkan sehingga akan memberikan nilai tambah pada produk tersebut. Di Thailand, program OVOP diperkenalkan oleh perdana menteri Thaksin Shinawarta dengan nama One Tambon One Village (OTOP). Tambon dalam bahasa Thailand berarti wilayah kecamatan, sehingga OTOP dikenal sebagai suatu konsep untuk menghasilkan suatu jenis produk unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu.

Program OVOP atau OTOP diluncurkan sebagai terobosan untuk menggerakan produksi dalam negeri khususnya dengan mengembangkan produk khas lokal. Program ini mendorong pemanfaatan sumberdaya lokal seperti alam, manusia, dan teknologi, mengandalkan tradisi setempat, dan menggunakan keahlian terbatas yang dimiliki masyarakat setempat. Misi program dikembangkan dengan berlandaskan kepada tiga filosofi, yaitu merupakan produk lokal yang mengglobal, menghasilkan produk atas kreativitas dan kemampuan sendiri, serta sekaligus mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia. Indonesia sendiri telah mengadopsi konsep OVOP yang kini menjadi prioritas pembangunan nasional semenjak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007 yang mengamanatkan pengembangan sentra melalui pendekatan One Village One Product (OVOP). One Village One Product dapat menggambarkan kemampuan daerah dalam menghasilkan produk, menciptakan nilai, memanfaatkan sumberdaya secara nyata, memberi kesempatan kerja, mendatangkan pendapatan bagi masyarakat maupun pemerintah, dan memiliki prospek untuk meningkatkan produktivitas. Indonesia, negara yang sebagian wilayahnya masih berupa kawasan pedesaan bukan tidak mungkin dengan pendekatan One Village One Product ini akan mendongkrak nilai jual di pasar internasional dan bersaing dengan produk dari mancanegara. Pasalnya sesuai dengan konsep wilayah, bahwa setiap daerah pasti mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain dan juga memiliki kekhasan yang tidak ditemui di daerah-daerah lain. Selain itu, dengan adanya pendekatan One Village One Product, tidak hanya meningkatkan keunggulan pada suatu produk melainkan juga ikut serta meningkatkan perekonomian wilayah pedesaan lewat diversifikasi pertanian maupun non pertanian. Selama ini desa dianggap sebagai wilayah tertinggal karena perekonomiannya hanya bergantung pada pertanian yang hasil produksinya tidak bisa dinikmati langsung, melainkan harus menunggu masa panen. Apabila One Village One Product tersebut dilaksanakan, maka para petani yang sedang menunggu masa panen dan para ibu rumah tangga dapat terus produktif menghasilkan produk-produk untuk dipasarkan dengan nilai jual lebih tinggi. Lapangan pekerjaan di desa juga akan menjadi luas sehingga urbanisasi ke kota dapat diminimalisir, perputaran ekonomi di desa menjadi lebih cepat serta ketimpangan antara desa dan kota yang selama ini terpaut jauh dapat berkurang.

Penciptaan industri-industri kecil dan menengah yang bergerak dalam bidang industri kreatif sangat berperan penting dalam terwujudnya program One Village One Product. Program One Village One Product di Indonesia telah berkembang cukup baik, tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Dengan potensi 74.000 desa maka bisa dipastikan apabila kesemua desa mengadopsi konsep OVOP akan ada pertumbuhan signifikan bagi kawasan perdesaan dan juga pertumbuhan bagi pasar global Indonesia. Ditunjang dengan otonomi daerah yang memperbolehkan suatu daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, mempermudah sinergi pemerintah daerah dengan masyarakat daerahnya, serta sinergi antar daerah maupun antar pemerintah pusat dengan daerah dalam merancang program One Village One Product. Tentunya ada pula faktor-faktor keberhasilan dalam penyelenggaraan OVOP. Mengacu pada keberhasilan OVOP di Thailand, faktor-faktor yang berpangaruh antara lain kesesuaian potensi sumberdaya alam yang mendukung munculnya produk unggulan dari suatu daerah yang memiliki daya saing sehingga memiliki ciri khusus dalam pasar mancanegara. Faktor berikutnya adalah potensi SDM dalam kelompok-kelompok masyarakat harus memiliki modal dasar, yaitu keterampilan, etos kerja, dan semangat kerjasama. Hal ini dapat terbentuk dengan adanya penyediaan dana pelatihan, konsultasi, dan pendampingan untuk pengembangan sumberdaya manusia. Pemerintah menjadi faktor juga dalam keberhasilan OVOP melaui pendirian kantor promosi UKM, lembaga pengembangan UKM, penggalakan promosi dan pameran. Dukungan permodalan sangat diperlukan agar program OVOP dapat berjalan dengan baik, bentuknya bisa berupa kredit dengan suku bunga ringan. Bisa juga berupa dana bergulir untuk pengembangan industri kreatif. Penyediaan teknologi oleh pemerintah, utamanya dalam hal teknologi informasi untuk keperluan perdagangan dan promosi. Konsistensi perencanaan pembangunan ekonomi yang berbasis masyarakat dan dilaksanakan secara bertahap. Keberpihakan kepada pengusaha lemah dan menengah, serta menempatkan sektor UKM sebagai tulang punggung perekonomian dalam negeri. Koordinasi yang baik antara para pelaku pembangunan yang ditopang oleh kepemimpinan dan adanya kontrol masyarakat secara langsung atas berbagai program pembangunan. Komunitas petani/produsen dan pengusaha lokal berperan aktif dalam memilih dan menetapkan komoditas unggulan setempat.

Konsep dan program One Village One Product bisa dijalankan dengan baik jika ada kesamaan visi misi pembangunan ekonomi antara masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi pasar bebas ASEAN yang sebentar lagi akan bergulir. Keserasian pemerintah dengan masyarakat untuk menguatkan sektor industri kratif lewat konsep dan program OVOP bukan tidak mungkin akan mengantarkan Indonesia sebagai negara yang maju dan sukses dalam bidang industri terutama industri kreatif. Kawasan pasar bebas ASEAN sebenarnya menjadi keuntungan bagi negara sebesar Indonesia yang memiliki berbagai potensi luar biasa yang sulit bahkan tidak bisa ditemui di negara lain. Hanya saja terkadang baik pemerintah maupun masyarakat kurang mampu dan mau mengelola potensi yang ada diwilayahnya. Lewat One Village One Product diharapkan potensi kawasan desa yang selama ini tidak pernah termanfaatkan bisa termanfaatkan secara optimal tanpa merusak lingkungan, berkelanjutan serta tidak merusak budaya setempat. One Village One Product menyajikan konsep dan program untuk mendunia melalui karya-karya inovatif tanpa menghilangkan identitas bangsa lewat berbagai macam budaya dan kearifan lokal yang dimiliki suatu bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline