Caleg artis adalah fenomena yang sudah menjamur di negeri ini. Beberapa tahun terakhir, banyak artis yang rame-rame mencalonkan diri, entah karena sungguh-sungguh atau hanya karena mengikuti trend.
Tampilnya artis sebagai caleg, seolah-olah menggambarkan bahwa tidak ada lagi yang mau jadi aleg di negeri ini. Tidak adalagi orang yang berkualitas ataupun orang terkader dengan baik untuk berperan sebagai aleg, sehingga memaksa artis turun tangan. Tentu bukan karena itu.
[caption id="attachment_258008" align="aligncenter" width="300" caption="Anang Hermansyah, mencalonkan diri dari fraksi PAN"][/caption]
[caption id="attachment_258009" align="aligncenter" width="275" caption="Rieke dari PDI, yang sudah berpengalaman di dunia politik"]
[/caption] [caption id="attachment_258010" align="aligncenter" width="620" caption="Ridho Rhoma, artis muda yang mencoba nyaleg dari PKB"]
[/caption]
Terlepas dari kepentingan partai yang ingin mencapai target tertentu, misalnya mencapai PT 3,5% sehingga harus mendongkrak suara partai atau pencitraan baru partai. Terlepas pula dari kualitas dari para artis yang nyaleg tersebut. Ada satu hal menjadi perhatian kita, bagi para calon pemilih. Satu hal tersebut merupakan cerminan dari kondisi masyarakat Indonesia, ya “ketimpangan sosial”.
Artis yang kaya, makin kaya
Kita sudah mengetahui bahwa kekayaan artis di Indonesia, tidak bisa dipandang remeh. Benefit yang dihasilkan dari menjadi artis tentu sudah sangat besar. Jangan menjadi bintang sinetron atau film, menjadi pembawa acara saja sudah sangat lumayan. Misalnya Tukul Arwana, dibayar 35 juta untuk sekali tampil di acaranya Bukan Empat Mata. Untuk bintang film misalkan bang Deddy Mizwar dibayar hingga 200 juta/film atau Irwansyah mencapai 100 juta/film. Itu belum iklan-iklan maupun acara acara tv show yang mereka-para artis- bintangi.
Dengan penghasilan sebagai artis saja, mereka sudah lebih, apalagi kalau menjadi seorang legislator. Mengingat gaji legislator untuk tingkat DPRD saja, mencapai 16 juta/bulan. Gaji itu tentu belum ditambah dengan fasilitas-fasiltas lain.
Tentunya dengan fenomena artis yang nyaleg, apalagi jika nanti sudah jadi aleg. Akan mengakibatkan ketimpangan (disparitas) sosial yang besar. Karena artis yang sebelumnya sudah kaya malah makin kaya. Sementara belum tentu secara kualitas dan kapabilitas, mereka-para caleg artis-lebih cerdas dan solutif dibanding tokoh yang bukan artis. Dengan kata lain, aleg artis yang kurang kapabel tidak pantas dibayar dengan uang rakyat. Karena seharusnya gaji mereka saat sebagai aleg nantinya, seharusnya milik tokoh-tokoh non-artis yang lebih pantas karena kecerdasan dan kapabilitasnya. Namun hanya karena, artis lebih bermodal, maka mereka bisa nyaleg. Dan apabila terpilih, itu malah akan menambah kekayaan mereka.
Sehingga ketimpangan sosialnya adalah terjadi hubungan yang berlawanan antara kapabilitas dengan bayaran (gaji), yang hanya disebabkan karena perbedaan modal. Dalam sistem yang ada saat ini, seolah-olah yang paling bermodallah yang paling berpeluang menjadi aleg, bukan yang paling kapabel atau berkualitas.
Produk Popularitas, bukan hasil Kaderisasi
Fenomena lain dari artis nyaleg adalah, kebanyakan para artis tersebut direkrut menjelang pemilu di tahun 2014. Kebanyakan, mereka baru masuk ke partai pengusungnya di tahun 2013 ini. Sementara kita tahu, bahwa sebelum mereka masuk ke Partai di tahun ini, mereka dibesarkan oleh popularitas media. Melalui iklan, film, sinetron, TV show, maupun lagu-lagunya.
Dengan kata lain, popularitaslah yang membentuk mereka. Mereka sebelumnya tampil sebagai entertainer figure, dalam waktu satu tahun harus menjadi political figure. Itu sama saja mengkarbit, memaksa mereka mengubah pola perannya. Mereka para artis, yang sebelumnya ahli sebagai entertainer, kini harus menjadi politikus.
Sementara kita tahu, perlu bekal yang sangat banyak dan kompleks untuk menjadi seorang politikus. Terutama yang berkaitan dengan akhlak dan pengetahuan. Dan untuk memenuhi bekal tersebut, tentunya bisa tercapai hanya dengan proses kaderisasi yang matang yang berjalan bertahun-tahun.
Dengan kondisi tersebut, tentunya terjadi ketimpangan sosial baru. Caleg yang dikader secara matang, berpotensi kalah oleh caleg karbitan hanya karena kalah populer. Dengan kata lain, terjadi hubungan yang berlawanan antara “kematangan” kader “perolehan suara” hanya karena faktor popularitas. Sehingga kader karbitan bisa saja menang hanya karena popularitas.
Jadilah Pemilih Cerdas
Memang tidak semua artis yang nyaleg tidak berkualitas, tidak semua juga yang karbitan. Masih ada sebagian dari mereka yang sungguh-sungguh ingin bekerja untuk kebaikan bangsa. Bukan karena mengikuti trend.
Oleh karena itu, sebagai calon pemilih. Kita tetaplah berperan besar dalam menentukan jadi atau tidaknya mereka sebagai anggota legislative. Kita jangan tertipu oleh popularitas mereka. Jangan tertipu hanya karena mereka sering muncul di media massa. Janga pula tertipu, karena mereka sangat “super” di sinetron ataupun di film-film mereka.
Selamat menjadi pemilih cerdas!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H