27 Juni 2024, Bersama dengan Konderasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), dan 31 organisasi lainnya, Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK) melakukan demonstrasi di kawasan Patung Kuda pada 27 Juni 2024.
Para pekerja dan mahasiswa berteriak, "Tapera, Tabungan Penghisap Rakyat." Sebenarnya, GEBRAK dan koalisi berencana pergi ke Istana Negara untuk menyampaikan tuntutan mereka langsung kepada Presiden. Namun, tembok beton yang dipasang oleh polisi menghalangi demonstran untuk pergi ke Patung Kuda.
Perjalanan Tapera untuk Penetapan
Sejarah kebijakan perumahan rakyat dimulai pada tahun 1800-an oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada awalnya menolak untuk memberikan dana untuk pembangunan perumahan. Akhirnya, karena desakan publik, N.V. Volkshuisvesting dan Gemeentelijke Woningbedrijven harus menyediakan rumah bagi kaum pribumi miskin. Sayangnya, rumah-rumah ini kecil dan terlalu mahal sehingga hanya dapat dimiliki oleh orang-orang dari kelas menengah atas. Diskusi tentang perumahan rakyat kembali muncul setelah Indonesia merdeka. Wakil Presiden Mohammad Hatta berpendapat bahwa negara harus memberikan rumah kepada setiap warga negara.
Pada tahun 1950, Kongres Perumahan Rakjat Sehat menyuarakan perspektif ini, mendorong para nasionalis untuk memprioritaskan masalah perumahan rakyat. Untuk menyediakan dan membiayai perumahan bagi orang berpenghasilan rendah, pemerintah membuat Djawatan Perumahan Rakyat, tetapi pergeseran politik dan ekonomi selama Orde Lama menghambat pelaksanaan kebijakan ini.
Cita-cita perumahan rakyat yang diamanatkan oleh Hatta dan konstitusi tidak terwujud selama Orde Baru. Rakyat belum memiliki rumah yang layak setelah pergantian kekuasaan. TAPERA, kebijakan yang serupa dengan kebijakan kolonial, hanya menjadi beban bagi rakyat dan tidak memberikan jaminan perumahan yang layak. Ini tidak sesuai dengan visi Hatta dan konstitusi.
Kebijakan yang Cacat
Banyak orang percaya bahwa Tapera adalah kebijakan yang tidak efektif. Sehubungan dengan PP No. 21 Tahun 2024, Tapera dianggap tidak relevan untuk masyarakat Indonesia. Berbagai potongan gaji, seperti BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Penghasilan, PPN barang dan jasa, dan potongan koperasi, membuat hidup buruh lebih sulit. Ini menimbulkan kemarahan dan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, terutama petani dan buruh yang terkena dampak langsung.
Dua masalah utama dengan Tapera adalah keyakinan publik bahwa itu tidak memberikan manfaat meskipun telah menabung lebih dari "lima ratus miliar rupiah" dan "kewajiban" untuk melibatkan semua pekerja dengan potongan upah sebesar 3%. Ini mengingatkan saya pada masa lalu ketika banyak orang menabung di Tapera tetapi tidak mendapatkan apa-apa darinya.
Salah satu masalah lain yang menghalangi pengesahan Tapera adalah jumlah rumah yang belum terbangun dibandingkan dengan jumlah rumah yang dibutuhkan. Masalah ini masih belum sepenuhnya diselesaikan oleh dukungan PMN yang besar untuk Bank Tabungan Negara (BTN) pada 2023.