Lihat ke Halaman Asli

Fathan Ali

Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia

Menelisik Gagasan Keadilan, Hukum, dan HAM (S. Douglass Scott & Paul Scholten) sebagai Sebuah Diskursus Pasca Modernitas

Diperbarui: 23 Januari 2019   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pembahasan (Review dan Analisis) 

Argumentasi yang dibangun oleh Sionaidh Douglas Scott pada Conclusion: Law and Justice after Modernity ialah mengevaluasi pemahanan hukum sebagai suatu paradigma yang mengalami perubahan secara komprehensif yang ditarik benang merah dari keseluruhan isi buku law after modernity. Perubahan tersebut diidentikan dengan situasi modernitas yang melekat pada perjalanan implementasi hukum baik pada level regional, nasional maupun internasional. Kemudian, perjalanan sistem hukum yang terjadi pada abad 21 (dua puluh satu) dinilai telah memasuki fase post-modernisme hukum. Sementara itu, Scott memiliki pandangan yang berbeda yaitu membangun argumentasi dengan tidak menginternalisasi pemahaman hukum masuk fase post-modernisme, sehinga membentuk argumen bahwa hukum masuk fase after modernity serta mencegah dominasi nihilisme pada fase post-modernisme. Sebab selama masa modern, hukum dipahami sebagai salah satu atribut urgent dalam negara, maka dari itu, hukum lah yang menjadi inti kemunculan konsep rule of law atau rechtsstaat yang eksis di dunia. Sementara itu, jika setiap individu meyakini hukum memasuki fase post-modernisme, maka hilanglah bangunan hukum yang telah terbentuk sebelumnya.

Scott mengangkat hukum sebagai objek budaya, dan harus dipahami sebagai bagian dari konteks budaya yang berkembang di masyarakat. Justru pandangan Scott ini bertentangan dengan pemikir seperti Hans Kelsen (positvisme) yang memisahkan faktor non-hukum, dengan menjadikannya hukum sebagai teori hukum murni (purity). Oleh karena itu, yang terjadi pada masa modern ialah hukum dipisahkan dari faktor eksternal non-hukum. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya perluasan konsep positivisme pada masa after modernity dengan melemparkan gagasan "banal" positivisme, yaitu menguji positivisme Kelsen dan Austin dengan relasi multidimensional yang mempengaruhi hukum, seperti kondisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Di sisi lain para pemikir hukum menekankan dan mengkritisi terhadap pelembagaan hukum, unifikasi hukum, dan pembentukan hukum yang tersistematis, namun justru 3 (tiga) hal tersebut menghadapi kenyataan sosial masa kontemporer dengan sifat yang multidimensional, kompleks, serta kegagalan unifikasi hukum yang pada masa modern diagung-agungkan sebagai bagian dari kedaulatan negara (sovereignity state). Perlu diingat juga, teori sovereignity state muncul setelah adanya perjanjian Westphalia. Namun, malah pada perkembangannya Westphalia memberikan kelemahan negara dalam hal government maupun governance, sebab keduanya gagal menangkap ide ethics value yang hidup di masyarakat serta tidak terrepresentasikan pada struktur hukum yang melekat terhadap kedaulatan negara. Dalam diskusi kondisi negara post-Westphalia mulai membuka wacana berpikir ke dalam negara modern yang membentuk sistem kedaulatan yang diprakarsai oleh Kranenburg, Logemann, Aristoteles, Oppenheimer, Karl Marx, H.J. Laski, dan Hans Kelsen, yang pada intinya negara memiliki tugas sebagai alat untuk mencegah terjadinya post-modernisme dengan membentuk hakikat negara serta tujuan negara berdasarkan hukum, meskipun setiap pemikir tersebut memiliki aliran filsafat yang berbeda.

Artikel ini menyimpulkan keseluruhan ide Scott secara berkesinambungan termasuk di dalamnya diskursus critical legal justice dan cosmopolitanism law. Sebab, notabene satu hal krusial yang menjadi perhatian pada pluralisme kontemporer saat ini yaitu mendambakan pengimplementasian konsep rule of law pada level yang berbeda seperti level transnasional, serta diharapkan sebagai sebuah diskursus dapat merasionalisasikan metaprinciples yang berkembang terhadap hubungan heterarchical antara elemen yang eksis di level transnasional. Oleh sebab itu, diskursus critical legal justice dan cosmopolitanism law cukup diminati oleh para filsuf masa kontemporer saat ini yang nantinya akan berhubungan juga pada penerapan justice, law, dan human right di regional, nasional, maupun transnasional. Sebagaimana hubungan antara investigasi law after modernity dengan hukum dalam praktiknya atau dalam hal law enforcementnya atas keinginan masyarakat atas tiga nilai tadi (justice, law, dan human rights) yang belum terinternalisasi pada rule of law maupun belum dimuat juga dalam keadilan administratif prosedural, maka dapat digambarkan pemaparannya seperti berikut ini:

1. Keadilan (Justice)

Mengawali sub ini, perlu terus mengingat realita sosial bahwa ketidakadilan mendominasi keadilan yang utopis. Sebab dalam konsepsi rule of law maupun rechtsstaat tidak ada yang mencantumkan keadilan dalam unsurnya. Namun, keadilan pada konsep rule of law maupun rechtsstaat ditemukan pada penegakan hukum melalui peradilan. Jadi, yang dapat menginterpretasikan keadilan procedural ialah jurist. Dengan begitu ada kesesuaian dengan pandangan Jacques Derrida dan Gilles Deleuze yang menjelaskan bahwa keadilan mengalami kondisi yang membingungkan (the confusion of justice). Karena keadilan yang diinginkan oleh rakyat berbeda dengan norma keadilan yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara beserta pemodal.

Pada mulanya penulis berpandangan bahwa keadilan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan merupakan keadilan yang ideal, namun nyatanya penulis sering menafikan teriakan rakyat atas bentuk ketidakadilan yang tetap hidup meski hukum telah terbentuk. Maka hal inilah yang memberikan influence bagi konsep justice, yang mana keadilan itu bersifat abstrak, emotive concept, dan menyangkut persepsi masing-masing individu. Sehingga, keadilan sulit untuk dilembagakan atau ditarik dalam legal meaning. Bahkan cukup keras Scott yang mengadaptasi dari Angel Boligan, Maze of Justice dan Amartya Sen bahwa keadilan ialah perasaan emosi dan bukan hukum, sehingga sulit dipertangungjawabkan serta menjadikan ketidakadilan tetap ada.

Uraian di atas dapat diketahui sebagai refleksi untuk mengkritisi pengaturan dengan mencoba mempertanyakan ukuran nilai keadilan yang dibagikan melalui sumber-sumber daya hukum (source of law). Sebagaimana sesuai dengan pertanyaan kepada siapakah source of law itu diberikan? Seberapa besarkah bagian yang diberikan? dan apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh bagian tersebut? Maka, akan menemukan rumusan bahwa keadilan adalah kemauan masyarakat yang bersifat tetap dan terus menerus dengan memberikan kepada setiap individu apa yang semestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi).

Bahkan prinsip-prinsip justice yang diusulkan oleh John Rawls menyarankan untuk memperoleh "value" yang terdapat dalam kerangka kerja dengan konteks lebih umum. Rawls menghubungkannya dengan gagasan tentang manusia rasional. Sebagai alasan moral, prinsip-prinsip keadilan ini dapat dikaitkan dengan gagasan etis. Maka, gagasan keadilan dapat dilihat sebagai spesifikasi dari gagasan martabat yang lebih umum terkait dengan aspek distributif dari struktur dasar masyarakat. Mengenai teori keadilan, pendekatan ini mengarah pada kompleksitasnya, karena tidak hanya melibatkan perhitungan rasional, tetapi juga perasaan harga diri setiap individu dalam menghadapi hukum. Penulis sependapat dengan Rawls yang mengesampingkan kondisi dan metode pembentukan motif moral, namun tetap concernnya pada perasaan moral sebagai fitur kehidupan manusia. Di sisi lain, pendekatan ini menawarkan cara yang lebih beragam dan fleksibel terkait strategi penalaran moral dalam mengkritisi keadilan dalam hukum.

Kemudian, menyepakati apa yang disampaikan pada prinsip justice dalam law after modernity bahwa keadilan di masa modern diusahakan melalui proses komunikatif dengan teks maupun peraturan perundang-undangan atau terpaut pada sistem. Keadilan tersebut mengesampingkan sifat perasaan, sebab sesungguhnya keadilan tidak bisa distrukturisasikan. Maka dari itu, yang sangat dibutuhkan ialah keadilan distributif yang menghargai sisi emotive concept. Upaya yang dilakukan oleh politik maupun upaya filosofis telah gagal untuk memotivasi dan untuk mencoba mencapai teori keadilan yang koheren di tengah masyarakat yang skeptis, dengan pengaturan keadilan tadi dengan menjustifikasi dan menganalogikan melalui patung cacat keadilan. Sehingga, memunculkan perlawanan pada keadilan prosedural dengan mengatasnamakan gagasan critical legal justice yang bersifat diskursif.

2. Hukum (Law)

Kemudian, dalam hal upaya konfigurasi diagram hukum yang rapi justru cenderung nampak berantakan seperti yang telah penulis lihat di bagian terakhir selama perkembangan law after modernity. Hukum menjadi ambigu dan sulit ditempatkan, serta justru hukum itu tidak sistematis. Salah satu cara sederhana yang digunakan untuk menggambarkan ambiguitas dan kompleksitas ini ialah dengan menjabarkan daftar dari banyak jenis hukum yang ada di dunia saat ini. Dalam menjabarkan daftar tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Scott dan Paul Scholten, yaitu menjelaskan jenis-jenis hukum seperti hukum internasional, hukum adat, hukum alam, dan lain sebagainya, sehingga pemetaan hukum dan pembuatan skema hukum merupakan tugas yang berat. Di sisi lain, chapter 12 (dua belas) mencoba menangkap benang merahnya dari bab-bab sebelumnya secara komprehensif dengan menjelaskan kebutuhan akan sifat ethics dalam hukum. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan Scott sebagai sebuah gagasan ialah salah satu cara untuk mencegah implikasi dari sifat kompleksitas dan multidimensionalitas hukum.

Setelah menjelaskan pluralisme dalam hukum yang kini bersifat ambigu. Ada beberapa gagasan pendukung seperti logical minded yang dilakukan oleh Hans Kelsen sebagai positivis dalam hukum. Yaitu, hukum baginya merupakan satu hal yang tersistematis yang penuh dengan justifikasi dan vonis. Kemudian hal tersebut malah mendapatkan kritik dari Paul Scholten yang menganggap bahwa hukum tidak hanya sebatas logical minded saja, namun ada juga sisi a-logical sebagai sebuah dialektika bekerjanya hukum seperti kehidupan spiritual dan kejiwaan manusia yang perlu diabsorbsi ke dalam hukum.

Sebuah diskursus atas perkembangan hukum tidak hanya pluralitas dan juga kritik atas positivism hukum, namun juga ada beberapa gagasan dari Phillippe Nonet, Philip Selznick, dan Satjipto Raharjo, yaitu ide tentang hukum responsif dan hukum progresif. Hal tersebut sebagai sebuah gagasan ialah dengan mempertimbangkan dan mengadaptasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Responsif dan progresif memiliki satu kesamaan yaitu, mencoba menjadikan hukum menjadi lebih objektif, terbuka, dan adaptif. Sehingga, diharapkan hukum dapat terinternalisasi secara efektif di masyarakat.

3. Hak Asasi Manusia (Human Rights)

Setelah itu, Scott sempat mengkritik terkait tidak jelasnya konsep hak asasi manusia (HAM) yang mana sependapat dengan para pakar hukum kontemporer yang cenderung mempermasalahkan HAM. Seperti halnya karakteristik HAM sebagai esperanto yang disampaikan oleh de Sousa Santos yaitu menyiratkan perasaan seperti sifat depresi atau frustasi terhadap kesetaraan. Kesetaraan yang digambarkan oleh Sousa Santos tersebut, seperti berpotensi memunculkan rasa putus asa di masyarakat terhadap keberadaan HAM yang tak kunjung terlaksana. Sebab, HAM merupakan bagian dari etika dalam arti luas yang secara gagasan akan memunculkan kesadaran moral bagi siapapun yang menyadarinya. Oleh sebab itu, keterikatan HAM bersifat kompleks dan abadi, serta tidak dapat digambarkan dalam sebuah definisi, dan juga menyangkut sifat keberagaman etika.

Penulis berpendapat bahwa permasalahan yang menimpa penyelenggaraan HAM apabila benar-benar tidak memiliki landasan konseptual yang jelas, maka mungkin tidak akan mendapatkan posisi yang bagus dalam hal menyelesaikan kekacauan hukum. Namun, penulis tetap beroptimis terhadap keleluasaan HAM yang masih layak untuk digunakan dalam kompleksitas hukum kontemporer, khususnya kebutuhan akan level transnasional. Selebihnya, penulis mencoba merefleksikan HAM ini sebagai sebuah diskursus yang cocok bagi level transnasional serta sejalan dengan gagasan cosmopolitanism law di tingkat global. Selain itu juga, untuk memenuhi ruang kosong humanisme tingkat global yang sejalan dengan penerapan rule of law tingkat global serta keadilan tingkat global.

Oleh:

Fathan Ali Mubiina, S.H.

(Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Daftar Pustaka

Buku :

Kelsen, Hans. A General Theory of Law and State. A Wedberg (penerjemah). Cambridge, MA: Harvard University Press. 1945.

Latour, B. We Have Never Been Modern. Cambridge, MA: Harvard University Press. 1993.

Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Transaction Publishers. 2001.

Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2014.

Rawls, John. A Theory of Justice. Revised Edition. Harvard: The Belknap Press of Harvard University Press. 1999 dan 1971.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline