Lihat ke Halaman Asli

Fathan Ali

Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia

Perlindungan Hukum, Korban Kekerasan Seksual Anak

Diperbarui: 7 Desember 2015   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak adalah suatu pemberian sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan dilindungi kehadirannya. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat, serta hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahkan anak yang masih di dalam kandunganpun dianggap telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendaki. Sehingga, menimbulkan konsekuensi yuridis otomatis si anak yang masih dalam kandunganpun memiliki hak keperdataan, yaitu hak untuk hidup, dan hak mendapatkan perlindungan.

Apabila kita lihat secara seksama beberapa kasus tindak pidana seksual kebanyakan menimpa korban-korban yang masih masuk ke dalam kategori anak, yaitu dibawah umur 15 tahun menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang korbannya masih anak, justru masih belum mendapatkan perlindungan yang maksimal dan efektif, seolah menjadi second victimization atau korban kedua kalinya ketika perkaranya masuk ke pengadilan dan juga perkaranya diketahui oleh banyak orang. Karena, kurangnya perhatian dan perlindungan dari sistem Hukum Acara Pidana di Indonesia, Si Korban sudah menjadi victims of crime dan untuk kedua kalinya ia menjadi korban sosial.

Beberapa kasus yang terjadi di pengadilan, hakim yang menanyakan kepada korban kekerasan seksual anak yang berkedudukan sebagai saksi, justru menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pantas untuk ditanyakan kepada seorang anak. Di dalam Hukum Acara Pidana memang yang terjadi lebih memfokuskan terhadap kedudukan tersangka dan belum secara efektif memberikan perhatian lebih terhadap korban, khususnya korban kekerasan seksual terhadap anak. Solusi dari Hukum Acara Pidana di Indonesia, hanya memberikan “restitusi dan kompensasi” atau membayar sejumlah uang dari tersangka kepada korban dan juga memberikan pembinaan psikis dari pihak-pihak terkait sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (2) huruf j UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Padahal korban anak ini tidak hanya rugi secara fisik dan psikis, ia juga rugi terhadap kondisi sosial di masyarakat. Berpotensi menjadi korban lagi setelah perkaranya selesai dan juga ketika ia kembali ke lingkungannya, dengan bermunculan komentar-komentar yang tidak pantas untuk didengar si anak.

Maka dari itu, penulis mengkritik keras kepada orang yang sudah “dewasa” untuk tidak berbuat tindak pidana khususnya kepada anak baik kekerasan seksual, pencabulan maupun eksploitasi lainnya. Dan juga memberikan perhatian, serta perlindungan ekstra kepada anak-anak. Karena, ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana pencabulan anak sesuai Pasal 290 (2) junto Pasal 291 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, serta dalam Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 17, bagi anak yang menjadi korban ataupun pelaku kekerasan seksual wajib dirahasiakan perkaranya. Dan di Pasal 78, ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah) terhadap pengeksploitasi seksual anak. Serta penulispun mengkritik kepada keluarga, lingkungan masyarakat, dan juga penegak hukum untuk tidak membully dan juga wajib merahasiakan perkara korban tindak pidana kekerasan dan eksploitasi seksual, khususnya korban anak.

 

 

Penulis,

Fathan Ali M.

Anggota Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa (BIKOHUMA) Universitas Jenderal Soedirman




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline