Jika jiwa memanggil, raga akan mengikuti berlari. Begitulah, ketika pagi dalam gerimis yang tak berkesudahan dengan ditemani sarung membelit sekujur badan, aku termangu melihat titik-titik air yang riang jatuh bercucuran.
Hari ini, semestinya aku mendaki Danau Gunung Tujuh, danau yang terletak di ketinggian 2.000 m dpl. Raga rasanya enggan tapi jiwa dalam gelora semangat, raga mengalah dan ikut akan kata jiwa.
Aku mulai mengemasi perlengkapan mendaki, melonggok logistik makanan. Hmm, rasanya cukup, toh hanya menginap semalam.
Aku menuju warung untuk membeli nasi bungkus untuk makan siang di jalan. Ibu penjual nasi sangat ramah, dan bercakap dengannya sangatlah menyenangkan.
Aku melongok ke dalam dapurnya, karena hawa hangat begitu terasa dari arah dapur. Di dapur, seorang perempuan tua sedang berdiang di dekat tungku. Tangannya memegang jepitan dari bambu yang menjepit daun-daun. Memanaskan daun-daun tersebut.
"Tino, daun apa itu?" tanyaku penasaran sambil mendekati ikut berdiang. Tino dalam bahasa Kerinci adalah nenek.
"Ini daun kawo" ujar Tino.
Tino menerangkan bahwa daun yang dipanaskan di atas api adalah daun kawo, kawo dalam bahasa Kerinci adalah kopi.
Daun kawo adalah daun-daun kopi liar yang menjadi gulma dan sering disingkirkan oleh petani kopi, tapi bisa juga berasal dari tunas muda pohon kopi.
Daun kawo dari tunas atau dahan muda dipetik dari pohon kopi, biasanya jenis kopi robusta. Lalu jepit dengan bilah bambu dan diletakkan pada tempat yang panas tapi bukan dijemur di bawah cahaya matahari.