Lihat ke Halaman Asli

Fatmi Sunarya

TERVERIFIKASI

Bukan Pujangga

Mimpi tentang Sebuah Buku

Diperbarui: 27 Juli 2020   05:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Fatmi Sunarya/dokpri

Seperti pernah saya ceritakan sebelumnya, Ibu saya adalah seorang guru dan masa kecil lebih banyak dihabiskan di sekolah. Semenjak sudah bisa berjalan atau umur 2 tahun, saya sudah dibawa Ibu ke sekolah. Guru di zaman itu bergaji kecil dan tidak mampu bayar baby sitter.

Saya sudah bisa baca tulis umur 4 tahun dan duduk di bangku kelas 1 SD umur 5 tahun tapi belum resmi sebagai murid. Hanya mengikuti pelajaran tapi tidak menerima rapor kenaikan kelas. 

Perpustakaan adalah istana bermain di waktu itu. Anak-anak zaman dulu biasanya main tali, main petak umpet, main congklak, dan saya memilih menghabiskan membaca buku cerita di perpustakaan SD. Kalau belum selesai, pasti 3-5 buku dibawa pulang.

Bagaimana dengan anak-anak lain? Mereka kurang berminat, lebih berminat main di sungai, main di sawah, main layangan, pokoknya outdoor. Nah mungkin ini juga sebabnya, sekarang saya malah suka berkegiatan outdoor. Masa kecil kurang bahagia.....

Buku-buku yang saya baca membuat takjub, dan berpikir bagaimana caranya mengarang sebuah buku. Pernah saya coret-coret untuk menulis. Tapi tidak pernah menjadi sebuah tulisan, maklum masih SD.

Sejak saat itu, mimpi menjadi pengarang buku sudah tertanam di jiwa dan menjadi mimpi setiap menyibak lembar buku yang dibaca. Ketika SMP, saya juga aktif mengisi Mading (Majalah Dinding), dengan puisi, vinyet. Ada satu puisi saya tentang cinta yang membuat heboh satu sekolah. 

Zaman dulu, anak-anak SMP tabu ngomong soal cinta. Sampai guru Bahasa Inggris, Bapak Murdani bertanya, "Kamu tahu artinya cinta?"

Saya menggeleng, "Saya menulis saja, Pak."

Dapat kata-kata entah dari mana. Sampai sekarang, ketika saya kembali membaca puisi-puisi yang saya buat, saya kadang bingung ini kata dari mana? Kok jadi begini? Hanya sampai SMP gairah menulis saya, karena di SMA tidak ada media yang menfasilitasinya.

Saya kembali menulis ketika bekerja di sebuah LSM, karena didorong teman-teman kantor yang selalu heboh kalau tulisannya dimuat di Koran Kompas. Dulu mas Alvin Hidayat, tulisannya tentang Konservasi dan lain-lain selalu nongol di Koran Kompas dan Koran lokal lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline