Lihat ke Halaman Asli

Fatmi Sunarya

TERVERIFIKASI

Bukan Pujangga

Bolehkah Setelah Menikah, Bersahabat Dengan Lawan Jenis?

Diperbarui: 1 Juli 2020   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokpri

Saya termasuk yang ekspresif kalau bertemu dengan teman lama, mungkin terbiasa berteman dengan berbagaimacam suku, ras, agama maupun bangsa. Dulu di kantor lama, konsultan ahli kebanyakan dari luar negri. Saya pernah bergabung di sebuah Konsultan Konservasi, boss-nya asli Amerika Serikat.

Jadi ketika bertemu dan sudah lama tidak bertemu kita terbiasa menyapa, hi Deb, (namanya Debby/perempuan) I miss you atau hi Luke (pria), I miss you. Oke itu waktu masih single. Tidak masalah bukan? Nah bagaimana jika sudah menikah?  Ternyata saya sulit mengubah kebiasaan saya yang "selalu kangen" sahabat.

Contohnya minggu lalu, saya bertemu sahabat lama yang dua tahun berturut-turut satu kelas di SMP yang berdomisi diluar daerah dan bertemu di sebuah toko. Kebetulan sahabat pria, dan seperti biasanya saya menyapa akrab, hei Hendrik lama ngga ketemu, kangen sama kamu. Koko yang punya toko langsung kaget, haiya lu pacaran sama Hendrik dulu ya. Waduh padahal teman akrab karena masih saudara jauh juga.

Kemudian saya, jelek-jelek gini pernah jadi penyiar radio. Jadi dulu sempat ngetop karena suara. Di zaman itu akses internet tidak ada, hanya ada jaringan telepon rumah. Maka radio swasta mempunyai tabloid masing-masing, dan saling berkirim tabloid antar radio. Nah saya punya kenalan dan kemudian jadi sahabat saya sampai sekarang, seorang sahabat yang dulunya bekerja di radio swasta sama seperti saya. Sahabat ini seorang pria. Dari muda hingga tua saat ini kami tetap menjadi sahabat. Walaupun bukan single lagi dan sama-sama sudah menikah. Tapi istrinya pernah komplain kepada saya, kamu kok berteman dengan "suami orang". Oops saya kaget.

Emang saya ngga boleh sahabatan sama pria setelah menikah? Lalu saya mengobrol bersama dia, menjelaskan bahwa kami sudah sahabatan lama sekali. Dan tidak pernah dalam status pacaran. Kalau saya menelepon (dulu pakai telepon rumah), dan yang mengangkatnya adalah Bapak, Saudara sahabat saya itu, saya mengobrol dengan mereka. Sudah seperti keluarga sendiri. Tapi tetap istri sahabat saya itu cemburu pada saya. Ya sudahlah, yang penting niat saya baik.

Entah karena dari kecil saya lebih akrab dengan abang laki-laki saya dan kemudian abang laki-laki saya (satu-satunya) meninggal dunia maka saya lebih senang bersahabat dengan pria dari pada wanita. Di rumah saya kurang akrab dengan kakak perempuan saya. Untungnya semua sahabat pria saya orangnya baik-baik dan saya jarang berselisih paham dengan mereka.

Ternyata setelah menikah, kondisinya tidak seperti kita sebelum menikah dalam hal bersahabat dengan lawan jenis. Ada beberapa sahabat pria menjauh dan menjaga jarak dan ada pula sahabat pria yang tidak berubah. Tetap bersahabat layaknya sebelum menikah. Yang menjauh mungkin termasuk ISTI (Ikatan suami takut istri) atau mungkin dia tidak nyaman lagi bersahabat dengan kita atau ingin menjaga perasaan istri yang cemburu dan posesif. Semua dapat kita maklumi. Sahabat tetap lah sahabat, mau berjauhan atau berdekatan.

Kembali ke judul artikel diatas, Bolehkah atau tidak bolehkah? Menurut saya (entah menurut anda), boleh saja asal persahabatan itu murni tanpa ada bumbu-bumbu jahe, laos kunyit, serai dan lain sebagainya. Lho emang mau bikin rendang? Becanda, maksudnya tidak ada bumbu asmara atau rasa-rasa lainnya.  Dengan ketentuan, memperhatikan batasan dalam persahabatan itu, tidak terlalu intim atau intens, dan hindari curhat yang ter-rahasia menurut anda. Gitu aja sih menurut saya.

Kita sebagai makhluk sosial tentu perlu berinteraksi dengan sesama jenis maupun lawan jenis, bermitra kerja dengan sesama jenis atau lawan jenis. Kalau sudah ada rambu-rambu atau batasan rasanya tidak ada masalah. Tidak punya sahabat seperti taman tak berbunga. Sepi bingit kata anak-anak zaman now. Bersama sahabat kita bisa bertukar pikiran, ide, saling memotivasi, saling memberi semangat, saling tolong menolong dalam kesusahan. Sahabat bukan diwaktu tertawa saja, tapi menangis ikut jugalah. Kasihan sahabatnya nangis sendirian.....

Jadi tetaplah bersahabat tanpa memandang gender, tetap memperhatikan rambu-rambu lalu lintas persahabatan. Kalau merah jangan diterobos. Sebenarnya setiap keinginan harus di mulai dengan niat baik. Jika kita berniat baik, mudah-mudahan persahabatan itu murni dan tidak lekang oleh waktu. Yang lebih penting lagi bersahabatlah dengan jujur, saling menjaga kepercayaan dan saling memiliki empati yang tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline