Lihat ke Halaman Asli

Delusi (Part I)

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada kaki-kaki langit, aku menatap di balik jaring-jaring penghalang. Duduk menjuntai dengan bola mata yang mondar-mandir mencari muara. Penghalang besi yang tidak bisa ku tembus meski sudah ratusan kali ku pukul dengan palu besar. Maka begini saja, caraku melihat rintik hujan yang meruncing. Menjatuhkan ujungnya pada tanah yang mulai basah. Beberapa menit kemudian warna ungu menggenapi riasannya sendiri. Senyumku pecah, aku selalu suka saat jingga menyuguhkan warna baru di tengah-tengahnya. Pelangi.

Masih lekat dengan sosok yang melangkahkan kaki pada tarian dengan gerak sunyi di bawah guyuran hujan. Melambai lemah gemulai dengan decak-decak di atas dedaunan yang gugur lebih dulu. Desir angin menyempurnakan melodi yang sedari tadi meniupkan alunan di antara awan-awan hitam yang tampak mulai terang. Gerakannya mulai diperlambat memutari kerikil-kerikil yang sepertinya sengaja sudah di susun rapi. Menapak pada raut muka seorang yang lain, meneteskan gelombang pada butiran hujan yang terlambat datang.

“Awas, ada petir! Jangan terlalu jauh.”

Samar-samar ada suara yang menggema. Jari-jari kecil itu membalikkan derap langkahnya, menuju sisa-sisa suara tadi. Gigi-giginya yang berantakan sudah gemetar menggigit bibirnya sendiri, kedinginan.

“….”

Tak terdengar. Saking derasnya butiran air yang tumpah ruah. Aku mencoba menengok lebih dalam, merapatkan gendang telinga agar bisa mendengar jeritan yang melengking terlalu keras. Justru tak terdengar apa-apa.

“….”

“Ha?”

Aku terkesiap, jelaga mengabutkan pandangan yang susah payah ku intai dari sela-sela semak. Gagap gelagapan, berantakan.

***

Lekuk tubuh “gitar spanyol” dalam cermin berkanvas emas. Bulu mata lentik, dipercantik riasan eye shadow berwarna dark silver. Gaun dengan warna senada dilengkapi berlian melingkar di leher panjang dipenuhi sparkle berwarna keemasan, wanita dengan rambut hitam panjang tergerai.

“Sempurna!”

Aku tersenyum. Siapa yang tidak terpesona melihat keanggunan seorang wanita bermata coklat keemasan. Lelaki mana yang tak tergoda dengan aroma vanilla di sekujur tubuh langsing dengan senyum di sepanjang bibir merahnya. Sempurna.

Malam dengan lampu-lampu terang di sepanjang jalan setapak. Melangkah dengan keangkuhan yang tersembunyi di balik sederet senyum manis yang memusatkan setiap sudut pandang. Karpet merah terlihat lebih meriah, dilalui d’orsay dengan bunga berwarna putih menutupi mata kaki seorang putri yang melambaikan tangannya pada rupa-rupa manusia yang haus akan keindahan.

“Terimakasih,” kataku lembut pada seorang pria dengan tuxedo jacket berwarna putih yang memberanikan diri memberi satu bucket mawar merah.

Malam dengan sederet pujian panjang, sebelum kembali datang hujan. Aku kembali, duduk berjuntai. Kali ini dengan cemilan yang baru saja ku beli di mini market dekat rumah. Ada bintang yang sedang bersapaan dengan bulan. Lalu yang lain bersenda-gurau membarengi dentang jam yang berbunyi setiap satu jam sekali. Musik klasik sedari tadi menghasilkan bunyi-bunyian berirama andante, padahal biolanya tak berdawai. Bagaimana mungkin bisa mencipta suara yang mengelok di telinga?

Aku menuju ruang tengah. Duduk di tepi ruangan, aku memang lebih suka menepi. Ada jemari-jemari lembut yang membelai wajah satu sama lain. Tangan yang lain saling erat menggenggam dalam dekapan. Pelukan panjang yang hanya bisa ku rasakan dengan mata yang memandang, meliar sendirian.

Sebegitu kejamnya kehidupan sampai tak mengizinkan aku yang berada di sana. Seperti mereka yang sedang bermesraan dengan alasan yang sama, cinta. Aku masih memperhatikan, dua anak adam yang meredam bahasa. Cukup dengan satu tatap mata saja semua juga paham. Ada cinta yang meraung-raung di antaranya. Bahagia, seperti tak lagi peduli ada masalah-masalah besar di luar sana. Tak peduli lagi petir menyambar-nyambar. Sudah larut malam, bukankah seharusnya segera pulang?

Aku kembali ke kamar. Butuh istirahat panjang, aku lelah. Tapi malam terlalu dingin tanpa secangkir kopi hangat. Sepertinya aku masih punya sebungkus kopi oleh-oleh dari Toraja bulan lalu. Kopi hitam pekat tanpa gula, sempurna. Seperti menikmati hidup mewah tanpa cinta, terlalu sempurna mungkin.

“Sudah malam, sayang. Istirahatlah.”

Aku nyaris tersedak. Masih bisa menyuguhkan kalimat-kalimat semacam itu tengah malam begini.

“Iya, aku juga akan tidur kalau kamu tidur.”

Rasanya ingin ku rebut handphone yang menempel di telinganya. Ingin ku ambil paksa dari genggaman tangannya. Mengganggu pikiranku saja, batinku. Apa masih jaman, bermesraan tengah malam? Apa masih jaman, mengingatkan seseorang untuk segera tidur?

Aku menelan ludah. Meninggalkan secangkir kopi yang masih mengebulkan aroma pekat di atas meja. Tidak perlu lagi kopi untuk menghangatkan, sudah panas sendiri dibuatnya. Aku masih bergidik geli mengingat suara-suara tadi. Kantuk tiba-tiba hilang, aku memilih untuk keluar. Menghela napas panjang, menari di antara udara yang bebas ku hisap tanpa berebut dengan siapapun. Semua sudah masuk ke alam bawah sadar, tinggal aku yang terjaga. Terjaga dari kerinduan atas belaian, kasih sayang yang tidak pernah bisa ku sentuh dengan ketulusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline