Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Topeng

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ternyata kamu palsu. Aku baru tahu, perasaan yang selama ini mengendap di tubuhku; akibat pelukmu. Ternyata semua yang merdu itu semu. Kamu palsu.... Kamu bukan yang ingin bertahan dalam dekapan. Kamu hanya sekadar kalimat dalam bualan. Membuatku bimbang sendirian. Aku pikir, ini cerita tentang kita.

Aku kira kita adalah bagian dari kisahmu juga. Yang kau tulis dengan pena yang kamu genggam. Ternyata kamu sama hebatnya dengan sembarang lelaki; tak lebih dari imajinasi.

"Aku masih ingin di sini," katamu sambil mengecup ujung kepalaku.

Aku diam tak mau berbahasa, sudah bosan dengar lidahmu menjulurkan kata-kata yang sama. Aku sudah bisa menebak kalimat setelahnya.

"Tapi waktu bukan lagi milik kita."

Aku masih diam. Tak perlu banyak bicara; menikmati guyuran hujan yang merintik pelan. Aroma humus mengendus, membuatku mengembuskan napas panjang. Mencoba menenangkan diri saat masih dalam genggamanmu.

"Mengapa hanya diam?" Tanyamu dengan raut kebingungan.

Seketika resah bergelayutan, melahirkan pertanyaan yang berlainan. Mengapa tak coba kau jelaskan tentang rencana yang mungkin saja kau sembunyikan. Aku yakin, kamu paham betul isi di hatiku. Sudah lama mengeja huruf-huruf yang menggantung di dalamnya. Sudah hafal keluh kesahku, tau benar bagaimana caraku menahanmu setiap malam. Agar kamu tetap tinggal di sini; menenangkan riuh pikiranku.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Tanyamu lagi dengan genggaman yang lebih erat.

Apa katamu? Baik-baik saja? Tentu saja akan selalu begitu sampai kau berlalu. Di hadapanmu saja aku bisa merasa tidak pernah ada luka di antaranya. Di antara aku dan kamu yang bagimu tak akan pernah menjadi kita. Tapi selalu kau teruskan dengan cinta yang makin dalam; keterlaluan. Atau perasaanku saja yang berlebihan?

Aku tersenyum menatap matamu lekat-lekat. Tanpa bisa kamu lihat keadaan di baliknya; retakan panjang di setiap rusuknya. Senyumku makin lebar berjajar, padahal susah payah aku menahan gemetar di dadaku. Sakitnya menjalar merambat ke celah-celah bibirku yang pecah. Aku masih membariskan senyum paling rekah; biar lelahmu tak berubah jadi gundah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline