Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Senyummu, Mungkin Saja Aku Gagal

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setetes airmata itu......

Tidak, bukan hanya satu dua tetes saja. Jauh lebih merusuk dan aku, tulangku. Ya Tuhan, Ibu. Itu Ibuku, benar Ibuku. Bahkan menganyam senyum di bibirnya pun aku tak sanggup. Bodoh, terlalu bodoh.

Maafkan aku, Bu. Aku tau ini kegagalanku menjadi seorang anak.

Jangan menangis, Bu. Aku janji sebentar lagi aku mengganti kesakitanmu dengan sederet tawa yang hebat berjajar tanpa tepian. Maafkan anakmu, maaf ini terlalu mudah tersurat. Aku tau tak sebanding dengan cintamu.

Lalu lengang menjatuhkan lagi airmataku. Aku takut Ibu jauh lebih kecewa. Aku tak pandai berkata-kata, aku tak bisa merangkai bunga untuk sekedar kau cium aromanya, aku bukan yang setiap hari tersenyum mengucap berbagai macam kalimat tanda rasa sayang anak pada Ibunya. Aku ini semacam orang yang amat kaku di hadapan dunia. Bahkan di dekap kekasihku (waktu itu) pun aku serupa robot rakitan, yang hanya diam tanpa pergerakan. Entahlah.

Dan apa boleh buat, aku menepi saja. Membiarkan Ibu bahagia dengan tawa yang dibuat mereka, yang lain bukan aku. Selagu aku yang melepaskan genggaman kekasihku saat itu, menyerahkan hatinya yang terlanjur ku semat di dadaku. Ku berikan pada perempuan itu, wanita yang lain. Mungkin yang lebih, jauh lebih sempurna dari ujung senyumku.

Atau aku memang tak peka pada rasa, kata mereka aku pecandu kalimat menusuk dada. "ATOS". Sebegitu hitam tersebar mekar di hatiku. Sebegitu hebat kah pengaruhnya?

Kadang aku ingin menjadi seperti pujangga, yang memainkan kata dengan begitu indahnya. Menggoyangkan pena tua, menata titik koma dengan tempo beraturan, atau merias lembar kosong menjadi baid-baid bersyair bak puisi karya Chairil Anwar, penulis legendaris yang dipuja banyak mata. Seperti mereka, pujangga cinta yang menyeruakkan roman dengan etika beritme meninggi, menggugah gairah untuk bersulang memecah anggur merah.

Andai saja, aku ini seorang bernada musik klasik, penuh iringan bermelodi romantis. Mungkin Ibu bisa dengan jelas merasakan seberapa kuat rasa cinta anakmu, atau kamu. Kamu siapapun itu, seandainya saja mendengar petikan gitar yang betempo acak adul, dengan suara sumbang, lirik-lirik bernuansa cinta itu sudah menjadi milikmu. Apa dayaku, kamu tak akan paham, sudah terlambat. Mungkin suatu saat kamu tau apa alasannya, atau aku yang mengerti alasanmu melakukannya. Kamu yang merelungkan jantungku, kamu juga yang paling tega mengibas tebas khayalku sembari berlalu. Menjatuhkan aku tepat di dasar jurang bersama senar-senar yang putus tak beraturan.

http://fasihhradiana.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline