Pernyataan bahwa Al-Ghazali "membunuh sains dalam tradisi keilmuan Islam" adalah klaim yang kontroversial dan terbuka untuk interpretasi yang berbeda. Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang cendekiawan Islam yang sangat berpengaruh dalam sejarah intelektual dan keilmuan Islam. Pandangannya telah mempengaruhi banyak bidang, termasuk filsafat, teologi, tasawuf, dan ilmu pengetahuan.
Beberapa akademisi berpendapat bahwa Al-Ghazali memainkan peran dalam mengkritik beberapa elemen filsafat Aristoteles dan pemikiran rasionalis lainnya yang mendominasi dunia Muslim pada masanya. Dalam bukunya yang terkenal "Tahafut al-Falasifah" (The Incoherence of the Philosophers), Al-Ghazali menentang beberapa aspek filsafat Yunani karena percaya bahwa pandangan-pandangan ini berpotensi mengancam keyakinan keagamaan dan teologi Islam. Dalam karya ini, ia khususnya menentang konsep filsafat tentang ketidakabadian alam dan menegaskan keyakinan Islam tentang penciptaan oleh Tuhan.
Namun, perlu dicatat bahwa pandangan Al-Ghazali ini bukan berarti bahwa ia menentang ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Al-Ghazali sendiri adalah seorang ilmuwan yang terlatih dan menghargai ilmu pengetahuan, matematika, dan logika. Selain kritiknya terhadap beberapa aspek filsafat Yunani, ia juga menekankan pentingnya akal (reason) dalam memahami ajaran agama dan membela penggunaan akal yang baik dalam mencari pengetahuan.
Seiring berjalannya waktu, pandangan Al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan telah dianalisis dan diperdebatkan oleh berbagai cendekiawan. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa pandangan ini telah memberi kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam dengan mendorong pengembangan ilmu kalam (teologi rasional) dan ilmu filosofi Islam.
Dalam sejarah keilmuan Islam, ada periode kesuburan dan kemunduran ilmu pengetahuan, tetapi tidak tepat untuk menyalahkan Al-Ghazali secara langsung atas penurunan keilmuan dalam tradisi Islam. Berbagai faktor kompleks yang melibatkan politik, ekonomi, sosial, dan kultural juga berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Muslim pada masa lampau.
Penting untuk memahami konteks sejarah dan pemikiran Al-Ghazali dengan cermat sebelum mengambil kesimpulan tentang pandangannya terhadap ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam. Sebagai cendekiawan, ia memiliki peran dan sumbangan yang kompleks dalam perkembangan keilmuan Islam, dan pandangannya memiliki interpretasi yang beragam di kalangan ilmuwan dan sejarawan.
Apakah bener Al-Ghazali mendikotomi Ilmu ?
jawabannya sangat tidak benar, Al-Ghazali tidak mendikotomi ilmu dalam Islam. Sebaliknya, ia mengakui pentingnya ilmu pengetahuan dan bahkan menganjurkan bahwa pencarian ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Al-Ghazali adalah seorang cendekiawan Islam yang sangat menghargai ilmu dan pengetahuan, dan ia sendiri adalah seorang ilmuwan yang terlatih.
Namun, terdapat pandangan keliru yang menyatakan bahwa Al-Ghazali menentang ilmu pengetahuan atau membagi ilmu ke dalam dua kategori yang berlawanan: "ilmu agama" dan "ilmu dunia" (religious knowledge vs. secular knowledge). Asumsi ini sering disebut "dikotomi Al-Ghazali."
Asumsi ini salah karena Al-Ghazali sendiri menekankan kesatuan antara ilmu pengetahuan dan agama. Baginya, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama, dan keduanya seharusnya bekerja bersama untuk mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu pengetahuan, termasuk ilmu alam dan ilmu-ilmu lainnya, merupakan cara untuk lebih memahami ciptaan Allah dan mengenali-Nya.