Republik Indonesia dilahirkan sebagai negara yang heterogen dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama atau keyakinan yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila telah menegaskan tatanan norma terhadap kehidupan bersama antar individu, kelompok dan komunitas untuk saling hidup rukun berdampingan, saling menghormati, dan menghargai terhadap agama, suku, ras,dan golongan.
Dalam perjalanannya sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia menghadapi tantangan dan kendala dalam pelaksanaan tatanan norma hidup bersama. Tindakan - tindakan yang bertentangan dengan norma hidup bersama telah menjadi momok bagi kehidupan kerukunan bangsa Indonesia, seperti kekerasan antar kelompok, penyerangan terhadap kelompok minoritas, dan terutama konflik kekerasan berbasis agama dan keyakinan.
Pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama (KBB) yang terjadi dalam 217 peristiwa. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 333 tindakan dalam 175 peristiwa.Beberapa hal yang menjadi catatan dari pelanggaran KBB di Indonesia pada tahun 2023, antara lain:
* Jumlah gangguan tempat ibadah meningkat signifikan dalam tujuh tahun terakhir.
* Umat Kristen dan Katolik mengalami pelanggaran KBB paling banyak, yaitu 54 peristiwa.
* Masih tingginya penggunaan delik penodaan agama yang diskriminatif.
* Masih tingginya angka intoleransi oleh masyarakat dan diskriminasi oleh elemen negara.
Dari data di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kelompok minoritas lah yang selalu menjadi sasaran dalam gerakan pelanggaran kebebasan beragama. Dan yang lebih mengejutkan lagi angka intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat dan elemen lembaga negara masih tinggi. "Ada asap pasti ada api" istilah tersebut sekiranya dapat menggambarkan begitu peliknya problematika yang menimpa kebebasan beragama bangsa ini.
Di mana oknum masyarakat dalam hal ini diibaratkan sebuah "asap" yang dimana ada "api" tentunya sebagai penyulut. Sehingga, terciptanya "asap" tersebut atau bahkan sebaliknya "asap" tersebutlah yang sebenarnya "api" sesungguhnya.
Lalu siapakah disini yang paling bertanggung jawab menjadi asap dan api selain oknum masyarakat, yang mengakibatkan hambatan dalam menciptakan kerukunan umat beragama? Dalam hal ini salah satu elemen yang yang paling bertanggung jawab adalah kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Kepentingan "politis" oknum kepala daerah yang selalu "mengkambing hitamkan" kelompok minoritas menjadi permasalahan intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok agama atau keyakinan minoritas semakin menjadi semakin pelik.