Lihat ke Halaman Asli

Kerap Terdampak Banjir, Kelurahan Ini Bangkit dengan Kentongan

Diperbarui: 10 September 2016   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

simulasi kesiapsiagaan KSB Wonosari dalam menghadapi banjir

Banjir memang sepertinya sudah menjadi bencana ‘langganan’ Kota Semarang. Kelurahan Wonosari hanya merupakan satu di antara banyak kelurahan di Kecamatan Ngaliyan yang kerap terdampak banjir. Pada tahun 2011 saja, banjir bandang di Kelurahan Wonosari telah menelan 10 korban, 5 di antaranya meninggal dunia. Sebanyak 286 rumah rusak, dan 80% mengalami rusak parah.

Kelurahan Wonosari merupakan wilayah daerah aliran sungai (DAS) Beringin, dengan kemiringan lereng yang sangat curam. Dihuni oleh sekitar enam belas ribu jiwa, dengan luas daerah 323 hektare membuat kelurahan ini cukup padat. Letak wilayah yang berbatasan langsung dengan sungai dan kepadatan penduduk cukup tinggi, meningkatkan risiko korban jiwa saat banjir terjadi.

Belajar dari pengalaman kelam yang berulang kali terjadi, pemerintah Kota Semarang, berkolaborasi dengan Mercy Corps Indonesia melalui program Jejaring Ketahanan Kota-kota Asia terhadap Perubahan Iklim (ACCCRN) mengajak masyarakat agar lebih sigap menghadapi bencana banjir dengan membentuk kelompok siaga bencana (KSB). KSB tersebar di berbagai kelurahan DAS Beringin, dan bertanggung jawab untuk membantu kesiapsiagaan warga sebelum, saat, dan setelah banjir terjadi. Anggota KSB mengecek ketinggian muka air secara teratur, dan meneruskan informasi kepada KSB kelurahan lain, serta berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melalui handy talkie

img-4011-57d283f405b0bd2e4a2b363b.jpg

KSB di Kelurahan Wonosari memilih kentongan sebagai alat bantu dalam meneruskan informasi kepada warga, “Kami memang tidak menggunakan sirene karena dapat menimbulkan kepanikan warga.” Sebelumnya, sirene pernah digunakan dalam simulasi tanggap bencana banjir. Radius bunyi sirene yang mampu menjangkau wilayah lebih luas justru menimbulkan kepanikan.

Penggunaan kentongan oleh anggota KSB memiliki ‘kode’ tertentu sesuai dengan tingkat bahaya banjir. Para anggota KSB memukul kentongan sebanyak empat kali secara berturut-turut ketika tinggi muka air kurang dari 30 cm dari permukaan tanah, tanda banjir bandang akan segera terjadi. Ketika mendengar bunyi tersebut, warga harus mengungsi ke rumah yang lebih tinggi (tempat pengungsian sementara) dengan membawa tas darurat (kit-bag). Ransel darurat ini dimiliki oleh setiap keluarga di Kelurahan Wonosari, yang wajib disiapkan untuk menghadapi banjir. Ransel darurat ini berisi makanan kering, perlengkapan mandi serta obat-obatan.

isi dari tas darurat yang dimiliki setiap keluarga

KSB bertanggung jawab untuk terus melakukan pengecekan untuk memastikan tidak ada warga yang tertinggal di rumah. KSB memasang tali tambang di sepanjang jalur evakuasi untuk mengantisipasi genangan yang terlalu tinggi sehingga sulit dilewati warga yang akan mengungsi. Adanya peringatan dini dan sistem kesiapsiagaan yang terinformasikan dengan baik, memudahkan proses evakuasi dan mengurangi risiko korban jiwa. “Sekarang kan kami lebih ngerti gimana caranya menghadapi banjir, warga juga lebih siap.”

Kegiatan KSB Kelurahan Wonosari merupakan bukti nyata partisipasi masyarakat dalam menghadapi ancaman banjir di Kota Semarang. Tentu saja, keberlanjutan mekanisme peringatan dini dan evakuasi ini akan sangat bergantung pada partisipasi aktif warga. Jika Kota Semarang saja bisa, mengapa kotamu tidak! #AYOBERADAPTASI dari perubahan iklim.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline