Polusi suara telah memberikan dampak buruk bagi banyak orang di dunia setiap tahunnya. Kebisingan merupakan suatu jenis polusi udara yang membuat indra pendengaran kita tidak nyaman karena terganggu oleh getaran tinggi terus-menerus. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kebisingan turut andil dalam menyumbang peningkatan risiko kesehatan penduduk. Sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia menurut Worldometer, bagaimana tingkat kebisingan di Indonesia?
Salah satu data didapatkan dari seminar LIPI tahun 2009 dengan pembicara Ir. Wisnu Eka Yulyanto (Pusarpedal) yang membahas mengenai kebisingan permukiman menyatakan bahwa, “Dari penelitian yang telah dilakukan, 96 persen kota-kota besar di Indonesia telah melewati nilai baku mutu kebisingan siang malam sebesar 55 dB(A) dan sumber kebisingan dominan berasal dari aktivitas kendaraan di jalan raya, jalan raya utama maupun jalan utama di pemukiman”. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan standar baku mutu yang ditetapkan, bahayanya lagi, kebisingan diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan bertambah padatnya populasi di Indonesia dan bertambahnya volume kendaraan bermotor. Jika kebisingan semakin bertambah maka tingkat kenyamanan penduduk pun akan terus berkurang, lalu bagaimanakah dampaknya terhadap kesehatan mental penduduk?
Hasil dari sebuah penelitian oleh Hammersen, Niemann, dan Hoebel tahun 2016 menunjukkan adanya hubungan antara gangguan kebisingan yang tinggi dan gangguan kesehatan mental pada pria dan wanita. Hubungannya bervariasi menurut sumber kebisingan lingkungan dengan gangguan kebisingan secara keseluruhan menunjukkan hubungan yang paling kuat dengan gangguan kesehatan mental, diikuti oleh gangguan kebisingan yang disebabkan oleh tetangga dan lalu lintas jalan.
Banyaknya faktor kebisingan dan efek yang sangat mengganggu menimbulkan ketidaknyamanan jika terpapar memberikan dampak yang buruk pada kesehatan. Selaras dengan hal-hal yang dapat menjadi faktor pemicu terganggunya kesehatan mental seperti trauma masa kecil, perundungan, rasisme, kerugian sosial (ekonomi, sosial, moral support), kehilangan seseorang yang berpengaruh, dan kondisi fisik yang terganggu seperti neurotisisme atau ketidaknyamanan secara fisik yang terjadi terus menerus.
Dengan ini, didapatkan relasi bahwa kebisingan berpotensi menjadi hal yang dapat memengaruhi keadaan mental seseorang karena dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman, sulit konsentrasi, gangguan tidur, mudah marah, kebingungan dan juga kejengkelan. Kebisingan yang berlangsung dalam durasi yang panjang dapat menyebabkan penyakit-penyakit psikosomatik seperti gastritis, stres, dan kelelahan. Lebih jauh, kebisingan yang melewati batas normal dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental bagi manusia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang baku tingkat kebisingan dan dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja, Nilai Ambang Baku Mutu Kebisingan yang berlaku di Indonesia adalah seperti pada Gambar 1.
Kebisingan yang meningkat diperkirakan akan memperparah tingkat kesehatan mental di Indonesia, apalagi pandemi belum selesai dan didukung oleh data mengenai kesehatan mental yang dirilis oleh Kemenkes mengacu pada pernyataan Direktur Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan drg. Vensya Sitohang, “Pandemi COVID-19 memperparah ataupun semakin mempengaruhi kesehatan jiwa”, katanya pada konferensi pers di Hotel Conrad, Bali, Jumat (13/5/22). Angka prevalensinya meningkat 1 sampai 2 kali lipat dibandingkan kondisi sebelum pandemi COVID-19.
Meskipun pandemi akan semakin mereda, efek domino membuat berkurangnya angka penderita Covid-19 akan mengembalikan kehidupan normal dan menaikan angka kebisingan dan bisa saja menambah angka penderita gangguan kesehatan mental jika tidak diberikan penanganan lebih lanjut mengenai hal ini.
Dengan ini, perlu dilakukan pengendalian kebisingan agar tidak berdampak lebih jauh pada kesehatan mental. Pengendalian kebisingan sendiri dapat dilakukan dengan meredam kemungkinan bising yang ada dengan memasang peredam kebisingan atau menggunakan bahan bangunan yang sekiranya dapat meredam suara, menjauhi lokasi kebisingan seperti tidak bermukim di wilayah dekat jalan raya atau pinggiran rel kereta. Mengurangi intensitas terkena paparan kebisingan dengan pembatasan waktu, misalnya mengurangi intensitas bermacet-macetan dijalan dengan tidak keluar rumah saat weekend, selanjutnya menjaga pola hidup sehat, agar mengurangi intensitas terpicunya gangguan kesehatan mental karena paparan kebisingan dengan memiliki tubuh yang sehat dan psikis yang stabil.
Referensi: