Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Berbohong

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin saya tersenyum sendirian melihat keponakan-keponakan saya mengambil tas baru mereka, memakai pakaian baru mereka, mencium tangan orang tua mereka, lantas pergi ke sekolah dan –yang paling kecil, bilang dengan bangga, “Aku mau sekolah dong!” Mereka sekolah, antara gembira dan terpaksa. Gembira karena inilah masa baru bagi kehidupan mereka yang sementara, terpaksa karena umur dan kehidupan pula yang memaksa mereka untuk sekolah. Tak ada jatah kehidupan bagi mereka yang tak punya ijazah, katanya. Maka, dengan cara apa pun, anak-anak harus sekolah. Sampai tinggi, kalau perlu. Setiap kali saya berpikir tentang itu, saya selalu teringat montir motor yang merawat belalang tempur saya, “Sekolah di mana-mana mahal. Susah sekolah tinggi-tinggi buat kita yang orang kecil, kecuali otaknya encer banget. Makanya, saya bilang ke anak-anak, mereka harus pintar!” Ya, mereka harus pintar. Dan pelajaran tentang pintar sehabis liburan adalah pintar berbohong. Setidaknya, itulah yang saya rasakan selama bertahun-tahun. Saya bersekolah di dekat rumah dengan mayoritas siswa penduduk asli daerah tersebut. Kalaupun bukan asli totok, mereka sudah dianggap asli karena orangtua dan kakek-neneknya sudah nge-jogrog di situ dari tahun jebod meski bukan orang Betawi. Maka, setiap kali masuk kami harus bercerita tentang liburan, menulis panjang semacam cerpen dengan contoh yang bisa kami tiru dari buku pelajaran sekolah bahasa Indonesia. Saya masih ingat judulnya –yang entah kenapa tidak juga berubah selama bertahun-tahun: Liburan ke Rumah Nenek. Saya terpaksa berimajinasi seolah-olah nenek saya tinggal nun jauh di sana, padahal sesungguhnya hanya selemparan batu dari rumah saya. Saya juga dipaksa berkhayal seolah Paman selalu datang dari desa dengan membawa buah-buahan, lengkap dengan cerita sawah dan becak. Persis seperti saya juga 'dipaksa' menggambar dua buah gunung dengan matahari yang menyembul di tengahnya, plus awan, burung, jalan raya, dan sawah di kanan-kiri. Saya tak paham. Boleh jadi saya memang tengah belajar berbohong tentang cerita-cerita liburan, tentang panorama yang saya gambar, tentang kreativitas yang sesungguhnya sangat tidak kreatif. Entah mengapa pelajaran berbohong itu dipelihara terus menerus bertahun-tahun sampai saya merasa tidak ada sesuatu pun yang baru dalam liburan saya. Pikiran saya dicekoki gambar nenek tua dengan tongkat, paman menggendong pisang, adik bersepeda roda tiga, dan serentet doktrin yang mesti saya terima. Beranjak remaja, majalah dan sinetron yang memaksa pikiran saya berbohong. Cerita-cerita pendek di majalah remaja membuat saya berkhayal bahwa begitulah masa remaja, lengkap dengan ilustrasi kisah cinta yang menggebu ala abege. Sinetron menjadikan pikiran saya sedikit picik dengan berkilah bahwa begitulah seharusnya saya nanti ketika dewasa. Tak peduli realita yang ada sesungguhnya jauh dari gambaran yang saya terima. Maka, jangan salahkan saya jika saya akhirnya jadi tukang bohong beneran. Saya muak, maka saya berimajinasi tinggi-tinggi. Mencontek imajinasi mereka yang mampir ke kepala saya. Dan saya benar-benar jadi tukang bohong bertahun-tahun kemudian. Tukang ngarang. Wajah bisa jadi rembulan, awan jadi bisa tersenyum. Kancil bisa jadi banteng, burung gereja bisa jadi garuda. Binatang bisa jadi bicara, manusia bisa jadi tak bersuara. Pikiran saya absurd, tidak jelas. Maka, jangan salahkan saya jika cerita saya sulit dimengerti. Simbolnya terlalu rancu, dan dengan begitu tafsirnya bisa berjumlah seribu. Sesekali saya didakwa, “Kamu terlalu surrealis.” Blur antara nyata dan tidak nyata. “Bagus,” katanya, “Tapi jangan harap banyak yang suka.” Saya hanya tertawa. Saya tidak tahu siapa yang sebenarnya bersalah ketika saya benar-benar mengambil jalan pelarian dan menyematkan satu nama di dada saya: farra, melarikan diri. Saya hitung-hitung lagi berkas di dalam laptop saya setelah keponakan-keponakan saya pergi sekolah dan menjumpai bilangannya yang teramat banyak tentang kebohongan. Saya sudah belajar berbohong sejak saya masih kanak-kanak, belajar untuk berkhayal jauh yang tidak menyentuh realita sesungguhnya. Entah karena kegeraman saya pada pelajaran berbohong itu, atau sebenarnya saya yang terperosok dalam kebohongan itu sendiri, saya tak tahu pasti. Saya hanya berharap sedikit kepada mereka yang pergi bersekolah pagi itu: mudah-mudahan saja tak lagi ada pelajaran berbohong. Pelan-pelan saya menatap cermin dan mendengar suara kecil. “Ayah, adakah makna frasa dan klausa jika ia tak lagi berjiwa?” Kayu Putih, Juli 2010 gambar diambil dari http://images2.fanpop.com/images/photos/4600000/Lie-to-Me-wallpaper-lie-to-me-4651348-1280-768.jpg pengarang di situs ini yang membuat saya tergila-gila pada pelajaran mengarang dan "Pelajaran Mengarang": http://sukab.wordpress.com/2008/02/03/pelajaran-mengarang/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline